Para Reformis Islam

Di Mesir, selama akhir abad ke-19, sekelompok ulama palsu memulai versi Islam mereka sendiri yakni reformasi mirip kaum protestan. Di antara hal-hal yang mencoba mereka rubah adalah definisi Riba supaya dapat mengakomodir praktek perbankan di masa itu. Dari Muhammad ‘Abduh sampai ulama modern yang pro perbankan di sana menjalankan kegiatan belajar mengajar yang tidak terganggu, yakni menambah unsur baru kepada pendefinisian Islam, dan mengurangi unsur yang ada. Kegiatan inilah yang kita sebut modernisme. Pencapaian akhir dari kegiatan ini adalah ditemukannya Bank Syariah.

Inspirasi di balik gerakan modernis adalah Jamal-ud-Din al Afghani (1839-1897), sedangkan otaknya adalah Muhammad ‘Abduh (1845-1905), dan yang menyebarkannya adalah Rashid Reda (1865-1935). Gerakan ini pertama kali muncul sebagai penolakan terhadap kolonialisasi Barat, tetapi penolakan emosional yang disertai oleh kekaguman terhadap Barat.

Karena posisinya sebagai Mufti Besar Mesir – sebuah posisi yang diberikan kepadanya pada tahun 1899 oleh Lord Cromer, Gubernur Inggris di Mesir – Muhammad ‘Abduh menjadi tokoh yang paling berperan dalam perusakan Islam. Fatwa pertamanya sebagai Mufti Besar adalah sebagai berikut: “Bunga dalam simpanan tabungan adalah Boleh”. Dia menulis (5 Desember 1903):

“Penetapan Riba tidak diizinkan dalam bentuk apapun; sementara kantor pos menginvestasikan uang yang diambil dari masyarakat, yang tidak diambil dari pinjaman berdasarkan kebutuhan, karena itu mungkin untuk menerapkan investasi uang itu berdasarkan aturan bagi hasil.” [*maksudnya bagi hasil sama seperti Qirad] (Al-Manar, vol. VI, part 18, p. 717)

Penting untuk diperhatikan bahwa ketika dia mencela Riba, dia menerima perbankan. Ini adalah kelakuan semua ulama modernis. Dengan penetapan Hukum Syara' 'Boleh' terhadap Riba ini, dia membuka pintu kepada penerimaan perbankan Syariah. Walaupun dia tidak pernah memformulasikan ide Bank Syariah – karena dia tidak melihatnya sebagai penting untuk menyebutnya Syariah – tapi dia mendirikan dasar bagi ulama modern selanjutnya yang menyusun formulasi bank Syariah dari dasar yang didirikannya. Sebab dasar itu berarti menafsirkan ulang bunga sebagai keuntungan, sebagaimana halnya Syirkat atau Qirad. Penafsiran kritis ini dicapai oleh pengenalan satu set definisi buatan dan skema penipuan.

Muhammad Rashid Redha adalah pendiri majalah Al-Manar, yang disebarkan ke seluruh Dunia Islam. Dia berpartisipasi dalam lingkaran para penyokong konstitusi yang sama dan anti Daulah Utsmani sebagaimana Al-Afghani dan 'Abduh. Dia memusuhi Madzhab tradisional untuk memaksakan pendapatnya sendiri. Dia juga keras dalam memusuhi Tasawwuf. Pendapatnya mengenai Barat dan Riba jelas terlihat dalam tulisannya:

“Tidak ada dalam agama kita yang tidak sesuai dengan arus peradaban, terutama aspek yang dianggap berguna oleh semua bangsa beradab, kecuali berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang Riba dan saya siap untuk bersangsi [dari sudut pandang Syari'ah] bahwa semua pengalaman Eropa sebelum kita menunjukkan bahwa 'kemajuan negara1' adalah dibutuhkan untuk membesarkan Islam. Tetapi saya tidak akan menbatasi diri pada Madzhab yang ada, melainkan hanya bergantung kepada Qur'an dan Hadist Sahih.” (Al-Manar, vol. XII, p. 239)

Kalimat “kecuali berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang Riba” bermakna bahwa, misalkan, dia memandang tidak apa-apa memiliki polis asuransi jiwa (Al-Manar, vol. XXVII, p. 346, juga vol. VII, p. 384-8, dan vol. VIII, p. 588).

Dia juga mencela Ushul Fiqih dengan menyalahgunakan Qiyas untuk memperluas wilayah ke-Haraman hingga menyinggung pemungutan bunga modal, dan sebaliknya malah menyarankan untuk memungut bunga atas uang yang tersimpan di bank atau kantor pos sambil mengatakan bahwa itu bukan riba yang dilarang. (Al-Manar, vol. VII, p. 28).

Rashid Reda menciptakan penggolongan Riba baru yang menjadi pedoman bagi semua ulama modern setelahnya. Redha membuat perbedaan perlakuan hukum terhadap Riba yakni “Riba Berdasarkan Qur’an” dan “Riba Berdasarkan Sunnah”. Reda mengatur sedemikian rupa bahwa bentuk pokok Riba adalah yang diharamkan oleh Qur’an, dan keharaman ini berlaku sepanjang waktu. Sedangkan Riba Berdasarkan Sunnah, mengharamkan riba yang lebih ringan – menurutnya – yang umumnya diharamkan tetapi diizinkan karena keadaan darurah.