Kesalahpahaman Mengenai Riba An-Nasiah

Ulama modern pro perbankan telah mewarisi ‘kebingungan mengenai ekuivalensi’ yang sama yang menghantui para ekonom sejak Bentham. Mereka tidak dapat memahami makna ‘emas dengan emas, semisal dengan semisal, tangan ke tangan’. Mereka menyesatkan orang dengan mengganti makna kalimat dengan pemahaman yang lebih sederhana yakni bunga. Dengan demikian mereka mengabaikan dua hal: satu, makna menyeluruh ‘semisal dengan semisal’ yang artinya lebih dari sekedar bunga; dua, mereka sungguh mengabaikan isu penundaan.

Kesalahan mereka pada dasarnya sama dengan Ridha. Kesalahan pertama adalah mengidentifikasikan Riba dengan bunga. Mereka berkata bahwa Riba dan bunga adalah hal yang sama dan dapat dipertukarkan istilahnya. Kedua, kesalahan dalam penggolongan Riba yang menghasilkan pemahaman yang tidak memadai mengenai Riba an-nasiah.

Di antara para ulama modernis ini, beberapa telah datang dengan klasifikasi yang sama sekali baru:

Riba Hutang dan Riba Jual-beli. Keduanya mereka sebut ‘Riba al- Duyun’ dan ‘Riba al-Buyu’. Riba al-duyun merujuk kepada kontrak yang ada penundaan, seperti Hutang dan Jual-beli yang ditunda. Riba al-buyu’ merujuk kepada kontrak yang tidak ada penundaan, seperti Jual-beli pada umumnya dan kegiatan Tukar-menukar. Di bawah penggolongan ini mereka bersikeras dalam menyebut penerapan Riba al-fadl (kelebihan) kepada transaksi yang terjadi dalam jual beli1. Dan mereka mengidentifikasi Riba an-nasiah dengan Riba al-jahiliyyah dan juga kelebihan pembayaran dalam hutang. Ini adalah sama dengan penggolongannya Reda, kecuali mereka menggunakan istilah baru.

Para modernis ini menyalahtafsirkan Ayat (2:275) dengan mengartikan “Allah telah melarang Bunga”. Dan mereka benar-benar salah mengerti dengan memahami secara literal Hadis “Tidak ada Riba kecuali dalam nasiah.” Menurut kami Hadist ini tidak mengecualikan bentuk lain Riba.

Sedang menurut mereka keharaman Riba an-nasiah secara esensial menyiratkan bahwa Syari’ah tidak mengizinkan bunga. Bagi mereka, perkara yang dimaksud adalah “kelebihan pengembalian yang ditentukan di awal” (Chapra 1985, Towards a Just Monetary System. Leicester: The Islamic Foundation. p. 57).

Keharaman Riba yang diartikan sebagai “kelebihan pengembalian yang ditentukan di awal” – bersama dengan istilah “bebas bunga” – adalah aspek kunci lain yang menjadi tesis mereka, namun itu tidak dapat menggantikan makna sejati Riba yang sesungguhnya.

Apa yang penting mengenai isu ini adalah bahwa mereka menyamakan Riba an-nasiah dengan pinjaman, dan itu dihilangkan dari makna Tukar-menukar dan kontrak lain. Setelah itu kita akan melihat implikasi dari hal ini.

Mereka mengakui bahwa ada Riba al-fadl tetapi mereka juga sudah merubah maknanya. Mereka berkata bahwa Riba al-fadl dijumpai dalam pembelian tunai (tangan ke tangan) dan penjualan komoditas. Meliputi semua transaksi yang melibatkan pembayaran tunai pada satu pihak dan kesegeraan pengiriman komoditas di lain pihak. Ini membuat mereka pusing tujuh keliling mengenai makna penundaan dalam tukar-menukar. Mereka menyepelekan fakta bahwa kelebihan yang tidak dapat dibenarkan (tafadul) yang terjadi dalam sebuah hutang adalah Riba al-fadl juga. Kekosongan ini diisi dengan definisi pribadi mereka mengenai Riba an-nasiah, yang membuat mereka menghilangkannya dari makna yang sesungguhnya. Untuk memberikan kemiripan supaya tampak sah bagi posisi salah mereka, mereka mengutip semua otoritas dan Hadist tetapi merubah konteks dan memelintir makna mengenai jenis Riba apa yang dapat diterapkan2, dengan demikian menggelincirkan orang dari pemahaman menyeluruh mengenai Riba ini. Pendek kata, ini adalah benar-benar Penipuan.

Salah satu contoh penipuan, mereka berpendapat bahwa dari keharaman Riba al-fadl munculah Sabda Nabi, sallallahualayhi wasallam, yang meminta bahwa jika emas, perak, gandum, barley, kurma dan garam saling dipertukarkan maka hendaknya ditukar di tempat itu juga dan sama ukuran takaran serta timbangan. Walaupun mereka mengakui bahwa enam jenis komoditas yang disebutkan berfungsi sebagai uang pada jaman itu, mereka tidak mensejajarkan ini dengan tukar-menukar uang. Mereka berkata bahwa uang kertas bukan bagian dari keharaman karena bukan salah satu dari komoditas yang disebut dalam Hadist tersebut. Omongan ini jelas melenceng karena nota utang berlaku baik itu sebagai ‘ayn atau dayn. Jika sebagai ‘ayn nilainya adalah nol. Jika sebagai dayn, maka nota utang mewakili pembayaran yang ditunda yang tidak dibolehkan dalam kegiatan tukar-menukar.

Ketika menjelaskan signifikansi Riba al-fadl dan kenapa itu juga diharamkan, Chapra menyediakan alasan berikut ini:

Di permukaan, tampak sulit untuk memahami kenapa seseorang ingin menukarkan jenis komoditas yang sama misal emas dengan emas atau perak dengan perak atau komoditas lainnya, ditambah lagi harus di tempat itu juga. Dia berkata bahwa apa yang secara esensial dimaksud adalah keadilan dan permainan yang fair pada tempat transaksi; harga dan nilai barang hendaknya adil dalam semua transaksi ketika pembayaran tunai (terlepas dari apa yang menjadi uang) dibuat oleh satu pihak dan komoditas atau jasa dikirim sebagai balasannya oleh pihak yang satunya.

Dia berkata bahwa segala sesuatu yang diterima sebagai “ekstra” oleh salah satu dari dua pihak kepada transaksi adalah Riba al-fadl, yang dapat didefinisikan dalam kalimat Ibnu al-Arabi sebagai kelebihan atas apa yang dibenarkan oleh nilai sebaliknya. Karena itu dia berpendapat bahwa keadilan hanya dapat terjadi jika dua titik dari sebuah timbangan memuat barang-barang dengan nilai yang sama. Dan akhirnya dia menyimpulkan bahwa poin ini dijelaskan dengan sepatutnya oleh Nabi, sallallahualayhi wasallam, ketika Nabi merujuk kepada enam komoditas penting dan menekankan bahwa jika satu timbangan memiliki satu dari komoditas ini, timbangan lain juga harus memiliki komoditas yang sama, “semisal dengan semisal”.

Lebih jauh dia melanjutkan pendapat bahwa untuk menjamin keadilan, Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, bahkan mencegah transaksi barter dan meminta bahwa sebuah komoditi untuk dijual terlebih dulu dengan uang perak dan uang perak itu digunakan untuk membeli komoditas yang diperlukan. Ini karena tidak mungkin dalam transaksi barter, kecuali bagi seorang ahli, untuk secara tepat menentukan ekuivalensi yang adil pada satu barang dengan barang-barang lain. Dengan demikian ekuivalensi hanya dapat dibuat berdasarkan ukuran 'kira-kira' sehingga mengarah kepada ketidakadilan satu pihak atas pihak yang lain. Karena itu penggunaan uang membantu mengurangi kemungkinan pertukaran yang tidak adil. (Ibid, pp. 58-59).

Posisi ini menghilangkan kemungkinan Riba Nasi'ah dalam kegiatan Tukar-menukar. Dia berkata bahwa transaksi semacam 'emas dengan emas' tidak terjadi lagi dan karena itu isu ini menjadi tidak relevan. Kenyataannya adalah transaksi ini terjadi setiap hari, yakni setiap kali nota utang digunakan. Mereka hanya menganggap bahwa apa yang diharamkan hanyalah bunga pinjaman dan 'kelebihan' dari tukar-menukar jenis barang yang sama. Adapun semua hal lain disepelekan.

Mengikuti argumentasi sebelumnya Chapra lebih jauh menyimpulkan bahwa semua komoditas yang dipertukarkan di pasar kemungkinan terkena Riba al-fadl. Dia berkata bahwa keharamannya hanya dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan menghilangkan semua bentuk eksploitasi melalui pertukaran 'yang tidak adil' dan menutup semua pintu belakang Riba karena, dalam Syari'at Islam, segala sesuatu yang menjadi sarana kepada yang haram juga haram.

Dia berpendapat bahwa Nabi, sallallahualayhi wasallam, juga menyamakan dengan Riba, kecurangan halus para pelaku perdagangan di pasar dan harga yang terus naik dalam lelang dengan bantuan agen.

Dengan demikian dia berkata, uang ekstra yang diperoleh melalui eksploitasi semacam itu dan juga kegiatan penipuan adalah Riba al-fadl. Riba al-fadl menurutnya adalah setiap bentuk ketidakadilan, dan dia merekatkan kasusnya dengan Hadist Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, yang berbunyi: “Tinggalkanlah hal yang menciptakan keraguan dalam pikiranmu untuk mendukung hal yang tidak menciptakan keraguan.” Dan juga Khalifah Umar yang berkata: “Berpantang bukan hanya dari Riba tapi juga dari Ribah” Ribah bermakna ‘ragu’ yang merujuk kepada income yang mirip Riba atau yang muncul dalam pikiran mengenai halal-haramnya. Meliputi income yang berasal dari ketidakadilan atau eksploitasi terhadap orang lain (Ibid, p.61).

Dengan demikian Riba al-fadl sepenuhnya didefinisikan ulang dalam istilah ketidakadilan dan Riba an-nasiah dikesampingkan menjadi sekedar riba yang berkenaan dengan pinjaman, di mana kenyataannya definisi itu tidak cocok kecuali dalam kasus “hutang dengan hutang” yakni dalam kasus 'hutang dibayar hutang'.

Merujuk kepada Fakhruddin al-Razi, Chapra menyimpulkan bahwa Riba an-nasiah dan Riba al-fadl adalah unsur esensial dari ayat:

“Allah telah menghalalkan Jual-beli dan mengharamkan Riba.”

Dan dia berkata bahwa saat Riba an-nasiah berhubungan dengan pinjaman dan diharamkan dalam ayat itu, Riba al-fadl berhubungan dengan perdagangan dan tersirat dalam bagian pertama. Dia berkata bahwa ketidakadilan yang ditimbulkan melalui Riba dapat langgeng melalu transaksi bisnis, dan Riba al-fadl merujuk kepada semua ketidakadilan dan eksploitasi, lelang, ketidakpastian, atau spekulasi bisnis, dan monopoli serta monopsoni (Ibid, p.61).

Sekarang kita akan menjajaki kalimat ini “Riba an-nasiah berhubungan dengan hutang” kita dapat memahami dasar kesalahan mereka. Apa yang Chapra dan lainnya katakan adalah bahwa Riba nasiah merujuk kepada Riba yang terjadi dalam transaksi yang memiliki penundaan (seperti hutang), sedangkan posisi yang tepat Riba an-nasiah adalah “penundaan yang tidak dibenarkan” yang terjadi di segala jenis transaksi (misalnya dapat terjadi pada Tukar-menukar). Kenyataannya walaupun ada penundaan dalam hutang, itu bukanlah penundaan yang haram. Penundaan dalam hutang adalah Halal (kecuali dalam kasus “hutang dengan hutang”). “Kelebihan yang tidak dibenarkan” dalam hutang adalah 'kelebihan pembayaran'. Karena itu penundaan bukan penyebab Riba dalam kasus hutang, melainkan kelebihan pembayaranlah yang jadi penyebab Riba. Jenis Riba yang diasosiasikan dengan pengenaan bunga pinjaman adalah Riba al-fadl dan bukan Riba an-nasiah.

Kesalahan ini bukan kesalahan yang sederhana, sebab membawa akibat penting. Dengan mendefinisi ulang Riba an-nasiah, justru menghilangkan makna sehingga kehilangan kemampuan mendefinisikan ke-Haraman dalam penundaan yang diharamkan. Ini akan mencegah para Bankir Syariah dari kemampuan mempertanyakan keharaman penggunaan nota utang dalam pertukaran dan transaksi lain di mana penggunaan dayn adalah haram. Kesalahan ini adalah pintu belakang pembenaran uang kertas.

Para Bankir Syariah setuju bahwa bunga yang dikenakan oleh bank konvensional “adalah identik dengan kelebihan yang ditetapkan di awal sebagai kewajiban yang harus dibayar, yang merupakan salah satu dari dua jenis riba yang diharamkan oleh Syariat Islam.” Tetapi mereka menyepelekan pertanyaan apapun tentang kemungkinan Riba oleh penundaan dalam pertukaran dan transaksi lain, juga pemahaman kritis tentang uang kertas. Akademi Fiqih Islam yang didirikan oleh Organisasi Konferensi Islam (OIC) dalam sesi kedua yang diselenggarakan di Jeddah, Saudi Arabia, 22-28 December 1985, mendeklarasikan bahwa “setiap kelebihan atau keuntungan pada pinjaman yang telah jatuh tempo, sebagai imbalan atas perpanjangan tanggal jatuh tempo, dalam hal peminjam tidak mampu membayar, dan setiap kelebihan atau keuntungan pinjaman pada saat dimulainya perjanjian pinjaman, keduanya adalah bentuk Riba, yang diharamkan oleh Syariah” (Ausaf Ahmed 1995, Evolusi Bank Islam. Dalam Ensiklopedia Bank Islam, London: Institut Asuransi dan Bank Islam. p.17).

Kesimpulannya, klasifikasi kaum modernis mereduksi Riba kepada dua isu:

Bunga dalam pinjaman dan setiap jenis monopoli atau monopsoni, atau peningkatan harga terus-menerus di pasar. Yang pertama mereka sebut semena-mena sebagai Riba an-nasiah, dan yang kedua Riba al-fadl. Klasifikasi ini memelintir makna dari dua jenis Riba itu dan menyepelekan isu penting penggunaan uang kertas dalam pertukaran dan seluruh permasalahan uang kertas. Dalam esensinya, ide mereka tentang Riba adalah bunga pinjaman.