Pendahuluan

Riba telah secara jelas dan eksplisit diharamkan dalam Qur'an dan Sunna. Allah dan Rasulnya salalahu'alayhiwasalam telah mendeklarasikan perang kepada orang-orang yang tidak berpantang darinya.

Ada beberapa ayat yang relevan mengenai Riba.
Allah berfirman dalam Qur'an:

 الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

 (Orang-orang yang memakan riba), artinya mengambilnya. Riba itu ialah tambahan dalam muamalah dengan uang dan bahan makanan, baik mengenai banyaknya maupun mengenai waktunya, (tidaklah bangkit) dari kubur-kubur mereka (seperti bangkitnya orang yang kemasukan setan disebabkan penyakit gila) yang menyerang mereka; minal massi berkaitan dengan yaquumuuna. (Demikian itu), maksudnya yang menimpa mereka itu (adalah karena), maksudnya disebabkan mereka (mengatakan bahwa jual-beli itu seperti riba) dalam soal diperbolehkannya. Berikut ini kebalikan dari persamaan yang mereka katakan itu secara bertolak belakang, maka firman Allah menolaknya, (padahal Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Maka barang siapa yang datang kepadanya), maksudnya sampai kepadanya (pelajaran) atau nasihat (dari Tuhannya, lalu ia menghentikannya), artinya tidak memakan riba lagi (maka baginya apa yang telah berlalu), artinya sebelum datangnya larangan dan doa tidak diminta untuk mengembalikannya (dan urusannya) dalam memaafkannya terserah (kepada Allah. Dan orang-orang yang mengulangi) memakannya dan tetap menyamakannya dengan jual beli tentang halalnya, (maka mereka adalah penghuni neraka, kekal mereka di dalamnya). (Al-Baqarah: 275)

 يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ 

(Allah menghancurkan riba) dengan menguranginya dan melenyapkan berkahnya (dan menyuburkan sedekah), maksudnya menambah dan mengembangkannya serta melipatgandakan pahalanya. (Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang ingkar) yang menghalalkan riba (lagi banyak dosa), artinya yang durhaka dengan memakan riba itu hingga akan menerima hukuman-Nya. (Al-Baqarah: 276)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ 

(Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah), maksudnya jauhilah (sisa yang tinggal dari riba, jika kamu beriman dengan sebenarnya, karena sifat atau ciri-ciri orang beriman adalah mengikuti perintah Allah. Ayat ini diturunkan tatkala sebagian sahabat masih juga menuntut riba di masa lalu, walaupun riba itu sudah dilarang. (Al-Baqarah: 278)

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

(Jika kamu tak mau melakukannya), yakni apa yang diperintahkan itu, (maka ketahuilah) datangnya (serbuan dari Allah dan rasul-Nya) terhadapmu. Ayat ini berisi ancaman keras kepada mereka, hingga ketika ia turun, mereka mengatakan, "Tak ada daya kita untuk mengatasi serbuan itu!" (Dan jika kamu bertobat), artinya menghentikannya,(maka bagi kamu pokok) atau modal (hartamu, agar kamu tidak menganiaya) dengan mengambil tambahan (dan tidak pula teraniaya) dengan menerima jumlah yang kurang. (Al-Baqarah: 279)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda) bacaannya ada yang memakai alif dan ada pula yang tidak, maksudnya ialah memberikan tambahan pada harta yang diutang yang ditangguhkan pembayarannya dari tempo yang telah ditetapkan (dan bertakwalah kamu kepada Allah) dengan menghindarinya (supaya kamu beroleh keberuntungan) atau hasil yang gemilang. (Al-Imran: 130)

فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

(Maka karena keaniayaan) artinya disebabkan keaniayaan (dari orang-orang Yahudi Kami haramkan atas mereka makanan yang baik-baik yang dihalalkan bagi mereka dulu) yakni yang tersebut dalam firman-Nya, "Kami haramkan setiap yang berkuku..." sampai akhir ayat (juga karena mereka menghalangi) manusia (dari jalan Allah)maksudnya agama-Nya (banyak). (Dan karena memakan riba padahal telah dilarang daripadanya) dalam Taurat (dan memakan harta orang dengan jalan batil) dengan memberi suap dalam pengadilan (dan telah Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu siksa yang pedih) atau menyakitkan. (An-Nisa: 160-161)

Rasulullah salalahu'alayhisalam mengatakan mengatakan hal berikut ini berkenaan dengan betapa berat dan seriusnya Riba: Abu Hurayra berkata bahwa Rasulullah salalahu'alayhiwasalam bersabda: "Riba ada tujuhpuluh jenis.Yang paling ringan dosanya setingkat dengan menikahi (yakni berhubungan seksual dengan) ibunya sendiri.(Diriwayatkan oleh Ibn Majah, Baihaqi)

Abdallah ibn Hanzala meriwayatkan bahwa Rasulullah salalahu'alayhiwasalam, bersabda: Satu Dirham Riba yang seseorang terima dengan sadar, lebih buruk daripada berbuat zina tiga puluh enam kali." (Ahmad) Baihaqi meriwayatkannya , atas otoritas dari Ibn Abbas, dengan tambahan bahwa Nabi salalahu'alayhiwasalam, melanjutkan berkata: "Neraka lebih pantas bagi orang yang dagingnya berasal dari yang Haram."(Diriwayatkan oleh Ahmad)

Abu Hurayra meriwayatkan Rasulullah salalahu’alayhiwasalam bersabda: “Pada suatu malam saya diangkat ke langit saya melihat orang yang perutnya sebesar rumah yang di dalamnya terlihat ular yang dapat dilihat dari luar perutnya. Saya bertanya kepada Jibril siapa mereka dan dijawabnya bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.(Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibn Majah)

Samura bin Jundab meriwayatkan bahwa Rasul salalahu’alayhiwasalam bersabda: “Malam ini saya bermimpi dua orang datang dan membawaku ke sebuah tempat hingga sampai ke sungai darah, di mana seseorang berdiri di tengahnya, di pinggir sungai berdiri seorang lagi memegang batu. Orang di tengah sungai berusaha keluar, tetapi orang yang satunya melemparkan batu ke mulut orang yang berusaha keluar dan memaksa orang itu untuk kembali ke tempatnya semula. Kapanpun orang itu mencoba keluar dari sungai darah, dia lempar batu dan dipaksa kembali ke tengah. Aku bertanya: “Siapa ini? Aku diberitahu bahwa: “Orang di tengah sungai adalah orang yang makan riba.” (diriwayatkan oleh Bukhari)

Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, mengutuk orang yang memungut Riba, orang yang memberi Riba, orang yang merekam transaksi riba dan orang yang menjadi saksi transaksi riba. Rasul bersabda, mereka semua sama berdosa. (diriwayatkan oleh Muslim)

Tentu saja ada alternatif pengganti Riba. Sebagaimana dijelaskan oleh Rumi, “Apa yang Halal adalah mungkin.” Rumi juga berkata Orang munafik adalah orang yang berkata “Apa yang halal tidak mungkin.” Melakukan yang Halal adalah diperintahkan kepada setiap Muslim. Di antara alternatif yang disediakan Syariah bagi transaksi berbasis Riba, adalah Syirkat (atau Musyarokah) dan Qirad (atau Mudarabah). Keduanya adalah dua kontrak bisnis utama dalam Syariah. Asas-asas kontrak bisnis Syariah ini ada pedomannya. Masalahnya adalah penerapan kontrak bisnis Islami ini dalam lingkungan yang tidak cocok untuk kontrak-kontrak itu.

Jawaban bagi masalah ini bukanlah merubah kontrak tetapi merubah lingkungan.


Di sinilah letak perbedaan utama dengan saudara-saudara kita di Bank Syariah. Mereka melestarikan lingkungan dan instrumen kapitalis dengan mengorbankan aturan yang diberlakukan oleh Syariah. Mereka melakukan ini secara salah atas nama ijtihad dan darurah.

Sebaliknya kita, berdiri untuk mendirikan kembali lingkungan Islami melalui restorasi beberapa alat kunci dan institusi perdagangan (infrastruktur Islam), yang penting untuk Syirkat dan Qirad untuk dapat beroperasi secara layak.

Isu yang berkenaan dengan hal ini


Banyak Muslim yang memiliki rekening bank berbunga. Bunga tanpa diragukan lagi adalah Riba dan karena itu Haram. Hukum Syara' yang bagaimanakah bagi kita sekarang ini ketika kita dipaksa untuk memiliki rekening bank? Kebanyakan orang berfikir darurah. Darurah adalah instrumen Hukum yang diterapkan dalam kasus-kasus di mana seseorang benar-benar butuh sehingga diijinkan untuk berbuat yang mana dalam keadaan normal hal itu Haram. Karakteristik paling kritis dari darurah adalah Ukuran Sementara. Jika Anda berada di gurun gersang dan hanya punya babi untuk dimakan, maka hukumnya Fardu (Wajib) membunuh dan memakan babi tersebut. Memakan babi tidak Halal, namun dalam keadaan ini itu adalah Fardu. Berbeda halnya dengan orang yang beternak babi sambil berkata: “Darurah”.

Saat Anda berada dalam situasi darurah, wajib untuk mengerahkan segenap daya upaya untuk keluar dari situasi darurah itu. Tidak diizinkan untuk tetap tinggal dalam situasi darurah itu selamanya.

Isu yang kita pikirkan di sini adalah “apa yang harus dilakukan oleh Muslim terhadap bunga yang diterima pada simpanan mereka di bank?” Bagaimana cara yang benar memperlakukan bunga ini, mengingat keadaan sekarang sudah seperti ini?

Kebanyakan orang memutuskan antara pilihan-pilihan berikut ini:

1] membiarkan bunga sebagai bagian dari situasi darurah
2] mensedekahkan bunga bank
3] mengembalikan bunga secara langsung atau membuat akun bank khusus tanpa bunga.


Pilihan manapun yang diambil tidak termasuk berusaha keluar dari darurah, melainkan hanya melanggengkan darurah dan ini tidak boleh. Pilihan nomor 1 jadi sumber pemasukan bagi pemilik akun bank.
Pilihan nomor 2 jadi sumber pemasukan bagi penerima sedekah.
Pilihan nomor 3 hanya akan lebih memperkaya bank, membuat pilihan ketiga ini jadi pilihan yang terburuk.

Ada pilihan ke-4 yang merupakan salah satu yang kita ajukan: menggunakan bunga bank untuk keluar dari keadaan darurah.

Ketika status darurah terjadi, perbuatan yang diperintahkan (untuk dilakukan oleh setiap Muslim) adalah berusaha keluar dari situasi darurah, bukan malah melanggengkannya.
 
Daftar Isi
 
Pengantar

Pengantar Fiqih
Pengantar Usul Fiqih
Pentingnya Sunnah dalam Penafsiran Qur'an
Sedikit Gambaran Kehidupan Moderen Saat Ini
Definisi Riba
Kesalahpahaman Reformis dalam Memahami Riba
 
Lebih Jauh dengan Uang Kertas
Lebih Jauh dengan Bank
 
Kesalahpahaman Riba Akibat Perbuatan Reformis Agama dan Kapitalisme
Para Reformis Islam
Kesalahpahaman Mengenai Riba an-Nasiah
Menyamakan Riba dengan Bunga Pinjaman
Bank Syariah adalah Sama Saja dengan Bank Biasa
Murabahah, Apa yang Termasuk dan Apa yang Tidak
Praktek Murabahah Versi Bank Syariah
 
Larangan Dua Penjualan dalam Satu
 
Murabahah sebagaimana yang dipraktekkan oleh Bank Syariah adalah benar-benar Penipuan 
Bahaya dari Pengambilan Semata Prinsipnya Saja dari Kontrak Muamalah
Tahap-tahap Proses Islamisasi
Metodologi Kaum Modern
Menghadirkan yang Halal
Muamalah Syariah
Beberapa Kaidah Dasar Kontrak Bisnis dalam Syariah
Syirkat (persekutuan)
Qirad (pinjaman bisnis)
Apa yang Harus Dilakukan Selanjutnya

Pengantar

Hukum Syara’ adalah aturan yang mengikat keseluruhan aspek hidup seorang Muslim. Inilah aturan-aturan yang lazim diketahui sebagai Halal, Haram, Makruh, Sunnah, dan Mubah. Apapun yang dilakukan oleh seorang Muslim, akan masuk pada salah satu dari aturan-aturan tersebut. Setiap pelanggaran terhadap aturan, akan berakibat pada kesengsaraan hidup, baik itu di dunia maupun di akhirat nanti.

Hukum Syara’ itu sendiri dihasilkan dari kaidah-kaidah yang disebut Ushul Fiqih. Ilmu Ushul Fiqih inilah yang mengolah agar Sumber-sumber Hukum Islam dapat menjadi suatu produk Hukum. Dahulu, di jaman Rasulullah Shallallahu’alayhiwasallam masih hidup, para Sahabat, meniru tindakan dan perbuatan Beliau. Begitu pula ketika ada suatu permasalahan, para Sahabat langsung bertanya kepada Beliau untuk mendapatkan suatu Hukum.

Sumber-sumber Hukum Islam Qur’an dan Hadist, adalah bahan mentah yang harus diolah. Tidak diijinkan bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan sebagai seorang ahli Fiqih (Faqih) untuk menghasilkan suatu produk Hukum. Pengambilan Hukum itu sendiri ada prosedur dan aturan ketat yang harus ditaati, yang terdapat dalam Ilmu Ushul Fiqih. Setiap Madzhab memiliki kaidah Ushul Fiqihnya sendiri-sendiri, tetapi banyak hal-hal yang umum disepakati seperti misalnya Hukum tentang Riba dan Zina. Semua ahli Fiqih (Fuqaha) sepakat bahwa Hukumnya adalah Haram.

Lantas apa yang harus kita lakukan ketika mengetahui bahwa suatu perbuatan adalah Haram. Haram adalah suatu perbuatan yang jika dilakukan berdosa dan jika ditinggalkan berpahala. Ketika kita mendapati bahwa suatu hal/perbuatan adalah Haram maka tinggalkanlah!

Tentu saja akan menjadi rumit ketika yang harus kita tinggalkan adalah sesuatu yang sudah membelit kehidupan kita mulai dari A sampai Z. Di sinilah peran penting ilmu Fiqih, dan Faqih yang menguasainya, yang telah bekerja keras siang dan malam, bertahun-tahun, guna menghasilkan suatu produk Hukum Syara’, sekaligus cara bersikap menghadapi yang Haram itu. Para pembaca sekalian, bersiaplah mengarungi luasnya lautan ilmu Allah Subhanahuwata’ala. Karena dalam buku kecil ini, pembaca akan diberitahu mengenai ilmu, yang telah dibuat seolah tidak berarti, oleh para penganut Islam modernis, yakni ilmu Fiqih, yang sesungguhnya berperan sebagai penolong yang sangat berharga dalam kehidupan kita, di mana sudah jarang yang menghargai ilmu Fiqih ini. Pembaca akan mengetahui, bahwa pengabaian terhadap Hukum Syara’, terutama yang Haram yang dibahas di sini, telah menjadi sumber penderitaan jutaan orang di seluruh dunia.

Para pembaca yang budiman, selamat membaca.

Pengantar Fiqih

FIQH DIDEFINISIKAN sebagai ‘ilmu dari pengetahuan penetapan hukum syara’ yang berasal dari Qur’an dan Sunna berkenaan dengan perbuatan tertentu dari orang yang sudah bertanggung jawab (mukallaf). Fiqh meliputi dua bidang:

Ibadah, yang berkenaan dengan hubungan antara orang mukallaf dan Allah, seperti salat, puasa dan haji.

Transaksi (mu’amalat), yang berkenaan dengan hubungan antara sesama manusia seperti perdagangan, pernikahan, hudud, warisan, dan lain-lain.

Macam-macam Hukum Syara’

Secara bahasa, hukm adalah sebuah ketetapan mengenai sesuatu atau seseorang. Sebuah ketetapan dalam Shari’a (hukum Shar’i) adalah Kalam Allah yang menentukan tingkah laku mukallaf dan hanya dapat dikuatkan oleh Wahyu, bukan secara rasional atau empiris.

Macam-macam Ketetapan adalah sebagai berikut:

1. Sebuah penetapan beban (taklif) kepada mukallaf, yang bisa berupa:
a. Izin untuk bertindak atau sebuah:
b. Tuntutan (talab) yang bisa jadi tegas (jazim) atau tidak (ghair jazim) – yang bisa jadi:

i. untuk melakukan sebuah tindakan (fi’il) atau
ii. menahan diri dari sebuah tindakan (tark).

2. Sebuah syarat (wad’) yang merupakan satu dari tiga hal:
a. Sebab – sebagaimana diilustrasikan dalam contoh berikut:
i. Sebab daging halal adalah disembelih
ii. Sebab salat Dhuhr menjadi wajib adalah matahari melewati puncak tertingginya.
b. Syarat – Syarat zakat menjadi wajib adalah berlalunya satu tahun Hijriah, tetapi itu bukanlah sebab karena syarat berikutnya juga harus terpenuhi (yaitu nisab).
c. Mencegah (mani’) – yang mencegah perempuan untuk salat adalah darah haidh.

Kategori Peraturan Hukum

1. Wajib – yang merupakan tuntutan keras untuk melakukan suatu perbuatan.
2. Sunnah – yang merupakan tuntutan yang tidak keras untuk melakukan suatu perbuatan.
3. Makruh – yang merupakan tuntutan yang tidak keras untuk menahan diri dari suatu perbuatan.
4. Haram – yang merupakan tuntutan keras untuk menahan diri dari suatu perbuatan.
5. Mubah – yang membolehkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.

Semua ini dijelaskan dengan lengkap sebagai berikut:

Wajib/fard: jika tuntutan dari Pembuat hukum adalah keras disebut wajib/fard dan diberi pahala jika dilakukan dan dihukum jika ditinggalkan, seperti beriman kepada Allah dan Rasul-Nya salalahu’alayhiwasalam dan rukun Islam.

Sunnah (mandub): jika tuntutan oleh Pembuat hukum lebih rendah tingkat keras/tegasnya, dikategorikan sebagai mandub, yang diberi pahala jika dilakukan dan tidak dihukum jika tidak dikerjakan, seperti salat Fajr (yang merupakan salat dua rakaat sebelum salat wajib Subh).

Makruh: jika larangan tidak keras, disebut makruh, yang tidak dihukum jika dikerjakan tetapi diberi pahala jika tidak dikerjakan, seperti membaca Qur’an dalam sajda.

Haram: jika larangan adalah keras, disebut haram, yang dihukum jika dikerjakan, tetapi diberi pahala jika tidak dikerjakan, seperti makan babi dan minum wine.

Mubah: jika mengerjakan dan meninggalkan suatu perbuatan adalah boleh, disebut mubah atau halal, yang tidak diberi pahala ataupun dihukum. Tetapi jika sesuatu yang halal dilakukan dengan niat mematuhi Allah dan menghindari ketidakpatuhan, itu berpahala.

Macam-macam Wajib dan Sunnah

Wajib dibagi menjadi dua:

1. Fard ‘ayn, yang merupakan kewajiban atas setiap mukallaf, seperti salat lima waktu.
2. Fard kifaya, yang merupakan kewajiban bersama (komunal) seperti salat al-janaza atau menyelamatkan orang tenggelam. Jika tidak dikerjakan oleh sebagian dari anggota komunitas, maka semuanya bertanggung jawab dan dapat dikenai hukuman, tetapi jika dikerjakan, komunitas itu bebas dari kewajiban.

Mandub dibagi menjadi tiga:

1. Sunnah adalah apa yang Rasul salalahu’alayhiwasalam selalu lakukan tanpa menandakan perbuatan itu sebagai suatu kewajiban. Ini disebut juga sunnah muakkadah (sunnah yang dikuatkan) dan terdiri dari dua macam:

a. Sunna ‘ayn, sunna individual – seperti salat witir.
b. Sunna kifayah, sunna komunal – seperti seorang anggota dari sekelompok orang menjawab salam atas nama sekelompok orang itu, mengumandangkan adhan atau iqama.

2. Mustahab adalah apa yang Rasul salalahu’alayhiwasalam lakukan kadang-kadang.

3. Tatawwu’ (sukarela) adalah perbuatan sunna yang dilakukan atas kemauan sendiri. Kategori ini disebut juga nafila, raghiba, dan fadhila.

Pengantar Ushul Fiqih

Imam Malik tidak merekam 'Asas-asas yang Mendasari Pengambilan Aturan Hukum Syariat' (Ushul Fiqih) dalam Madzhabnya. Tapi dalam Ushul Fiqih ini Imam Malik serupa dengan Imam Abu Hanifah yang hidup sezaman dengan Imam Malik, namun berbeda dari muridnya Imam Asy-Syafi'i, yang melakukan penyusunan Ilmu Ushul Fiqih secara jelas sistematis dan merinci asal-muasalnya serta menjadikannya sebagai dasar wajib untuk menyimpulkan 'Aturan Hukum Syariat' tentang suatu permasalahan.

Meskipun begitu Imam Malik meng-isyaratkan Kaidah Ushul Fiqihnya di dalam beberapa fatwa yang dikeluarkannya dan dalam soal-soal serta Hadist-hadist baik itu yang muttasil, munqati', atau mursal isnad juga Hadist balaghat3, walaupun beliau tidak menjelaskan kaidah Ushul Fiqihnya atau mempertahankan serta menjelaskan asal-usul yang menjadi sebab pengambilan Kaidah Ushul Fiqih yang digunakannya juga sebab kenapa Imam Malik menggunakan kaidah yang demikian.

Misalkan, dalam Kitab al-Muwatta ada Hadist-hadist mursal, munqati', dan balaghat tetapi tidak dijelaskan bagaimana Imam Malik memilih Hadist-hadist tersebut karena kitab al-Muwatta tidak membahas persoalan tentang isnad. Imam Malik sering meriwayatkan Hadist mursal dan Hadist balaghat tanpa mempersoalkannya. Ini karena perhatian terbesar Imam Malik dalam memilih Hadist adalah memilih Perawi. Yakni ketika Imam Malik yakin dengan sifat baik, kecerdasan, dan pengetahuan dari si Perawi, maka Imam Malik meniadakan perlunya mempersoalkan sanad dari Hadist yang diriwayatkannya.

Imam Malik mengambil praktik keseharian dari penduduk Madinah ('Amal Madinah) sebagai Sumber Hukum dan menjelaskan asal-usul yang menyebabkannya mengambil cara yang demikian. Kitab al-Muwatta menunjukkan bahwa Imam Malik menggunakan 'Amal Madinah dalam membuat Qiyas (analogi).

Dengan demikian dalam kitab al-Muwatta Anda akan mendapati Pernyataan Jelas atau Isyarat dari Asas-asas yang Mendasari Pengambilan Aturan Hukum atau Keputusan Hukum, sekalipun Imam Malik tidak benar-benar menjelaskan atau menetapkannya secara khusus. Misal, Imam Malik tidak menjelaskan 'Illat dalam Qiyas dan yang semacamnya.

Fuqaha Maliki telah menetapkan Aturan Hukum syariat sebagaimana para Fuqaha Hanafi telah lakukan, yakni mempelajari Aturan Sekunder dan menghasilkan Ushul Fiqih guna menghasilkan Aturan Hukum Syariat. Fuqaha Maliki menyebut Ushul Fiqih ini sebagai 'Ushul Fiqih Maliki'. Misalkan, Fuqaha Maliki me-ngatakan bahwa Imam Malik menggunakan Asas-asas Tekstual tertentu yang disebut 'Mafhum Mukhalafah' (penafsiran yang menyimpang dari makna jelas teks yang diberikan), 'Fahwa al-Khatab' (makna tersirat dari teks yang diberikan), dan 'Dzahir' (makna samar dari teks yang diberikan). Mereka berkata bahwa Imam Malik juga menyebutkan tentang teks umum yang tidak dikhususkan (general unspecific texts). Yang sebenarnya adalah: Walaupun Asas-asas ini diriwayatkan sebagai telah dirumuskan oleh Imam Malik, kenyataannya berasal dari Aturan-aturan sekunder yang diriwayatkan dari Imam Malik; dan bukti khusus bahwa Asas-asas ini berasal dari Konteks Aktual6 yang dirumuskan oleh Fuqaha yang datang setelah Imam Malik. Penarikan Kesimpulan dari Teks hanya dapat sah ketika bukti yang diperlukan ada.

Kita tidak wajib harus menerima Kaidah-kaidah ini sebagai Ilmu Ushul Fiqih Maliki karena kaidah-kaidah tersebut merupakan rumusan dari para ulama yang datang setelah Imam Malik tetapi tidak pula membantahnya, selain itu Kaidah-kaidah tersebut juga tidak diriwayatkan oleh Imam Malik sendirian. Namun kita terikat untuk menolak Kaidah-kaidah yang menurut kita berlawanan dengan Kaidah yang sudah jelas maupun Pernyataan Tegas yang sudah pasti dibuat oleh Imam Malik atau Kaidah-kaidah yang berlaku bagi beberapa Aturan Sekunder yang dibuat oleh Imam Malik walaupun tidak menyeluruh.

Kaidah-kaidah Ushul Fiqih yang digunakan oleh seorang ulama hendaknya diambil dan dihormati kecuali jika terdapat Kaidah Ushul Fiqih Maliki yang sudah jelas, yang bertentangan dengan Kaidah dari ulama tersebut. Dalam hal yang demikian kaidah ulama tersebut harus ditolak jika terbukti ber-tentangan dengan Kaidah Ushul Fiqih Maliki yang sudah jelas diterima8.

Kaidah Ilmu Ushul Fiqih Maliki tertulis di berbagai Kitab Ilmu Ushul yang ditulis oleh para pengikut Maliki serta tertulis pula pada Syarah Kitab-kitab Ushul tersebut yang dilakukan oleh pengikut Maliki lainnya. Mereka menjelaskan setiap Kaidah di mana di situ ada pendapat Imam Malik 'Begini dan Begini' tetapi Kaidah itu kenyataannya hanya disimpulkan dari Aturan Sekunder. Di dalam kitab at-Tanqih, Anda akan melihat bahwa al-Qarafi me-nyebutkan sebuah Kaidah dan kemudian menyertakan pendapat Imam Malik tentang Kaidah Ushul Fiqih itu yang bisa beda atau sama dengan Pandangan Mayoritas. Kumpulan Pendapat yang mendominasi Ushul Fiqih Madzhab Maliki itu, sekuat apapun dinyatakan penentuan sebabnya berasal dari Imam Malik, adalah tanpa diragukan menjadi Landasan tempat para pengikut Maliki berlabuh dan dari situlah Hukum Syara' madzhab Maliki berasal, baik itu para ulama dari generasi awal ataupun yang datang kemudian, dalam madzhab yang sangat produktif ini.

Kami akan menjelaskan Ilmu Ushul secara umum kemudian menuju kepada be-berapa rincian untuk memperagakan asas-asas mendasar untuk menghasilkan kesimpulan dalam Madzhab Maliki, alasan untuk mengembangkan dan me-nyebarkannya, sejumlah besar pertanyaan yang dengannya dihasilkan ke-simpulan itu dan kesesuaiannya untuk berbagai lingkungan. Kami akan ber-usaha untuk menjernihkan asas-asas yang khusus baginya dan yang di-pertimbangkan menjadi salah satu yang membedakannya dari madzhab lain dan memberinya kelenturan yang tidak ditemukan pada madzhab lain bahkan melaluinya sebuah madzhab yang didirikan di atas 'Amal yang merupakan kelebihan Madzhab Maliki dari Madzhab lain.

Dalam kitab Tartib al-Madarik Qadi 'Iyad menjelaskan landasan umum Fiqih Islam yakni:

1- al-Quran, : Teks Gamblang (Nushus jamak dari Nash), Teks Samar (Dzawahir jamak dari Dzahir) dan Makna Tersirat (Mafhumat);
2- Sunnah – Mutawatir (Periwayatan Ganda), Termasyhur (Masyhur) dan Hadist Tunggal;
3- kemudian Ijma, 4- kemudian Qiyas.

Kemudian beliau menjelaskan Asas-asas yang digunakan oleh Imam Malik beserta kedudukan dari Asas-asas tersebut. Jika Anda melihat langsung pada Metode dari para Imam ini dan Penetapan Asas-asas mereka dalam Fiqih dan Ijtihad dalam Ilmu syari'at, Anda akan menemukan bahwa Imam Malik menekuni Metodologi yang Jelas sehubungan dengan Asas-asas ini dan menempatkan mereka menurut tingkatannya secara berturut-turut. Imam Malik meletakkan Kitab Allah di urutan Pertama dan me-nyandingkan 'Amal dengan Kitab Allah, menempatkan Keduanya sebelum Qiyas dan Pendapat. Imam Malik meninggalkan Riwayat apapun yang dianggap Tidak Sah oleh orang yang masyhur ke'alimannya, atau ketika dia temukan bahwa sebagian besar penduduk Madinah melakukan sesuatu yang berbeda dan berlawanan terhadap riwayat itu. Imam Malik tidak menaruh perhatian pada orang-orang yang menafsirkan hal-hal menurut pendapat mereka sendiri10. Imam Malik secara tegas menyatakan bahwa aturan berdasarkan Pendapat semacam itu adalah Salah dan Tidak Berdasar (Tartib al-Madarik, p. 16) .

Qadi 'Iyad juga mengurutkan dasar Madzhab Imam Malik sebagai Kitab dan Sunnah, Praktik/Amalan/Kebiasaan Penduduk Madinah dan Qiyas, tetapi tidak menyebutkan yang lainnya. Qadi 'Iyad tidak menyebutkan Ijma' atau Asas-asas Metodologis lainnya yang membedakan Madzhab Maliki, seperti Masalih Mursala, Sadd adh-Dhara'i, Adat-istiadat ('Urf), dan Asas-asas Tertentu Lain yang orang lain telah sebutkan.

Dalam Syarah kitab al-Bahja Enambelas Asas-asas Mendasar diurutkan sebagai berikut:

• Makna Gamblang Teks (Nash) al-Qur'an.
• Makna Samar (Dzahir) yang berasal dari Teks yang Umum dan Tidak Khusus.
• Teks yang dijadikan Bukti (Dalil), yang mungkin memiliki Penafsiran yang Menyimpang dari Makna Jelasnya.
• Makna yang Terkandung (mafhum) dalam Teks, yang memiliki Makna Tambahan bertepatan dengan Makna Jelasnya.
• Teks yang Menjelaskan (Tanbih), yang meriwayatkan Alasan Pokok untuk Hukum Syara' (seperti pernyataan 'Itu Najis').

• Lima kategori yang sama sehubungan Sunnah;
• Konsensus (ijma').
• Analogi (qiyas).
• Amal/perilaku/kebiasaan Penduduk Madinah ('Amal Ahli'l-Madinah).
• Ucapan Sahabat (Qawl as-Sahabi)
• Memilih meninggalkan Qiyas Jali dan menggantikannya dengan Qiyas Khafi, atau Ketentuan yang Kulli kepada Ketentuan yang Ististna'i karena menurut Mujtahid itu ada Alasan yang Lebih Kuat (Istihsan)
• Melarang perbuatan yang dibolehkan karena khawatir terjerumus pada perbuatan yang dilarang (Sadd adh-Dhara'i').
• Ada ketidaksepakatan tentang Asas Ketujuhbelas yakni 'Menghormati Perbedaan Pendapat' (Muroatul Khilaf) Abu'l-Hasan berkata bahwa 'Istishab'(Menetapkan Hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya) adalah salah satu dari mereka. (al-Bahja, p. 126, vol. 2)

Daftar ini adalah Bersifat Logis. Teks yang Tegas dari al-Quran (Nash), dan Teks Samar (Dzahir), Buktinya, dan Penjelasannya adalah terhubung semuanya kepada Sumber Mendasar yang sama, Qur'an, dan Lima Unsur yang Sama juga berlaku pada Sunnah. Semua itu dijelaskan secara tersendiri karena tidak memiliki bobot yang sama ketika penarikan kesimpulan dipertimbangkan. Makna Samar (Dzahir) teks Qur'an tidaklah sekuat Makna Tegas (Nash) dan suatu Teks yang dapat memiliki Makna Menyimpang (Berlainan) tidaklah sekuat Teks Bermakna Gamblang (Jelas) dan seterusnya.

Dalam kitab at-Tabaqat, as-Subki menyatakan bahwa ada lebih dari Lima Ratus Asas-asas Mendasar dalam Madzhab Maliki. As-Subki tentu mengacu pada Qowa'id (Kaidah-kaidah) yang berasal dari Aturan Sekunder. Ada perbedaan antara Qowa'id Aturan Sekunder dengan Ushul Fiqih Maliki. Ushul fiqih Maliki adalah sumber bagi penarikan kesimpulan (deduksi), Metode Deduksi yang juga melibatkan Tingkat Kekuatan Sumber Hukum dan Pemilihan Sumber Hukum mana yang lebih didahulukan ketika Sumber-sumber Hukum itu saling berlawanan. Qowa'id Aturan Sekunder adalah Peraturan Umum yang menjelaskan Metode Pengujian Ijtihad dalam Madzhab dan Ikatan-ikatan yang menghubungkan Perkara-perkara kecil yang terkait. Qowa'id Aturan Sekunder adalah Konsep Baru dan saat ini menggantikan Aturan Sekunder karena Qowa'id Aturan Sekunder adalah Asas-asas Pemersatu yang dihasilkan dari Aturan Sekunder.

Adalah jelas bahwa Ilmu Ushul harus ada sebelum Aturan Sekunder karena Ilmu Ushul adalah Syarat Sah yang digunakan oleh Faqih dalam Penarikan Kesimpulan. Jadi Qur'an adalah lebih dahulu sebelum Sunnah, Nash Qur'an adalah Lebih Kuat daripada Dzahir Qur'an dan semua prosedur lain yang digunakan dalam membuat Ijtihad. Faktanya adalah walaupun Asas-asas ini diungkapkan oleh Aturan Sekunder namun tidak menandakan bahwa Aturan Sekunder mendahului Asas-asas. Namun lebih kepada Asas-asas ini ada lebih dulu dan Aturan Sekunder berfungsi Menandai dan Mengungkap Asas-asas sebagaimana anak-anak menandai orang tua mereka dan buah menandai pohonnya serta biji-bijian menandai jenis bijinya.

Penomoran paling tepat dari Asas-asas dalam Madzhab Maliki adalah sebagaimana yang diberikan oleh al-Qarafi dalam kitabnya Tanqih al-Ushul. Al-Qarafi menyatakan bahwa Asas-asas yang Mendasari Madzhab Maliki adalah:

1- Qur'an,
2- Sunnah,
3- Kesepakatan Penduduk Madinah,
4- Qiyas,
5- Qoul Sahabat, bersama dengan Masalih Mursala (Pertimbangan Kepentingan Umum),
6- 'Urf (Adat-istiadat)
7- 'Adat (Penggunaan Umum),
8- Sadd adh-Dhara'i (Melarang perbuatan yang dibolehkan karena khawatir terjerumus pada perbuatan yang dilarang),
9- Istishab (Menetapkan Hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya), dan
10- Istihsan (Memilih meninggalkan Qiyas Jali dan menggantikannya dengan Qiyas Khafi, atau ketentuan yang Kulli kepada ketentuan yang Ististna'i karena menurut Mujtahid itu ada alasan yang lebih kuat)

Pentingnya Sunnah dalam Penafsiran Qur’an

Qur'an adalah keseluruhan Syariah, Pelindung Agama, Sumber Kebijaksanaan, Tanda ke-Nabian (Mukjizat) serta Cahaya Mata dan Hati. Tidak ada Jalan Keselamatan kecuali Jalan Qur'an. Anda harus melepas pegangan apapun yang berlawanan dengan Qur'an. Tidak satupun dari pernyataan-pernyataan di atas memerlukan penegasan atau penarikan kesimpulan karena telah lazim diketahui dalam Agama dan di kalangan kaum Muslimin. Dikarenakan demikian adanya, siapapun yang ingin melengkapi Pengetahuan Syariat dan ingin memahami Tujuan Hidupnya dan termasuk golongan orang-orang yang Mengikuti Qur'an, maka harus mengambil Qur'an sebagai Pendamping Setianya siang dan malam, dalam pencarian kebenaran dan tindakan... Jika seseorang mampu untuk melakukannya, dia akan segera memiliki murid dan mendapati dirinya berada di antara Para Pendahulu (al-Awwaluun). Dia tidak akan mampu melakukan itu tanpa dibantu oleh Sunnah yang menjelaskan Kitab, yakni karya-karya dari para Imam Awwal (seperti Imam Malik) dan Kaum Salaf (Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in), yang akan membimbingnya dalam tujuan mulianya. (p. 247, vol. 3)

Demikianlah Pandangan Imam Malik mengenai Qur'an. Sehingga Imam Malik hanya membaca Qur'an atau meriwayatkan Hadist atau menghasilkan Fatwa dari Qur'an dan Hadist untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Imam Malik tidak memandang Qur'an dengan Pandangan Mendebat. Tidak pernah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata bahwa Qur'an terdiri dari Ungkapan dan Makna atau hanya Makna1; demikian pula Imam Malik tidak terlibat dalam diskusi apapun dengan Mutakallimun tentang Qur'an sebagai Makhluk karena Imam Malik tidak menganggap persoalan yang demikian untuk diperdebatkan. Imam Malik percaya bahwa kapanpun seorang manusia beradu pendapat dengan manusia lain mengenai hal ini, dia telah mengurangi keyakinan bahwa malaikat Jibril telah menyampaikan Wahyu kepada Muhammad shallallahu'alayhiwasallam.

Dalam hal Hukum Syara' yang diambil dari Kitab Allah, seorang Pengambil Hukum Syara' harus mempelajari Susunan Bahasa Qur'an, Sifat Dasar Ayat yang ada dalam Qur'an, Makna yang Disampaikan oleh Ayat tersebut, Makna Sebuah Ayat berdasarkan Ungkapannya (ekspresi), dan Tujuan dari Ayat tersebut. Karena itu seorang Pengambil Hukum Syara' harus mengenali Makna Ungkapan seperti sifat Kesegeraaan dan sifat, yang mana sifat-sifat itu menerangkan persoalan yang dibahas oleh Ayat tersebut. Setiap penggalan Ayat memiliki Tempatnya sendiri dalam keseluruhan Uraian dan juga Derajat Kekuatan Tertentu. Menghasilkan Hukum Syara' dari Qur'an memerlukan pemahaman terhadap semua yang disebut di atas.

Imam Malik mengetahui bahwa Qur'an mengandung semua Syariat dan bahwa Sunnah adalah penjelasan terhadap Qur'an. Qur'an tidak dapat dipahami dengan benar dan menyeluruh kecuali jika Penjelasnya yakni Sunnah Nabi dilibatkan untuk memahami Qur'an. Imam Malik haus akan Sunnah itu, bukan semata karena Sunnah adalah Sumber Hukum Islam Kedua, tetapi karena Sunnah juga menjelaskan serta menguraikan Qur'an dan memberikan Rincian Khusus bagi Yang Umum dan Membatasi yang Tidak Terbatas.

Qur'an adalah dalam bahasa Arab dan diwahyukan dalam bahasa Arab. Penduduk Arab yang demikian fasih saja memandang bahwa keindahan Qur'an tidak dapat ditiru dan membuat semua orang yang berusaha menirunya kewalahan. Imam Malik menganggap Tidak Pantas bagi seseorang untuk mencoba menjelaskan Qur'an kecuali jika orang itu memiliki Pengetahuan Mendalam tentang Bahasa Arab, Perbedaan-perbedaan Dialek, dan Gaya Penyampaian.

Sunnah adalah Jalan Lurus untuk Meresapi Makna Kitab. Itulah sebabnya Tidak Benar untuk Berpedoman Hanya kepada Qur'an tanpa mencari bantuan penjelasan dari Sunnah.

Demikianlah sedikit pengantar mengenai Hukum. Berikutnya kita akan memasuki bahasan utama yakni tentang Riba.

Sedikit Gambaran Kehidupan Modern Saat Ini

Secara umum diasumsikan bahwa dari sudut pandang kesejahteraan material, hal-hal tidak pernah lebih baik dari hari ini. Meskipun demikian pembunuhan besar-besaran terjadi di berbagai negara dengan digunakannya senjata pemusnah massal pada penduduk, pembantaian massal ekosistem dan fauna, serta korban kelaparan terbesar dalam sejarah manusia terjadi saat ini.

Semua penderitaan masa lalu dan kini1 dilupakan karena digembar-gemborkannya standar hidup manusia sekarang melebihi semua zaman. Tetapi standar hidup itu tidak sama bagi semua orang di dunia. Pada saat perbaikan materi telah dicapai bagi sejumlah kecil orang, sebagian besarnya lagi masih hidup dengan batasan minimal 2 dollar per hari. Ketidakseimbangan kesejahteraaan ini bergandengan tangan dengan ketidakseimbangan militer dan politik yang menghasilkan satu negara besar kuat menjadi pengatur dunia.

Selama masa beralihnya kesejahteraan hanya kepada beberapa gelintir orang saja ini, Umat Muslim telah kehilangan status politik dan ekonomi yang begitu makmur di masa lalu. Kesatuan politik yang diwakili oleh Kekhalifahan yang memberikan umat Muslim kehebatan dalam segenap urusan duniawi, dihancurkan, dan sebagai gantinya terpecah belah menjadi negara-negara kecil di bawah PBB. Penghasilan sebagian besar manusia digabungkan dengan GDP nya tidak mencapai 1/10 nya Amerika. Secara politik juga terpecah belah dan menjadi pecundang dalam penghasilan ekonomi. Umat Muslim menghadapi ketertindasan dalam sistem ekonomi saat ini. Di bawah rejim ini, erosi terus-menerus kehidupan budaya dan sosial adalah tidak dapat dihindari yang menghasilkan kemarahan dan frustasi kaum muda.

Ketidakseimbangan sistem ekonomi saat ini dihasilkan dari dibuangnya keterkaitan ekonomi dari politik. Sistem ekonomi yang menyebabkan ke-tidakseimbangan dibiarkan begitu saja, sedangkan tirani politik individu (diktator) menjadi fokus perjuangan politik untuk digulingkan. Dalam keadaan seperti ini, sistem ekonomi yang begitu zalim, tidak ada yang mempertanyakan dan karena itu keberlanjutan kezalimannya juga dibiarkan.

Inti dari sistem ketidakseimbangan inilah yang disebut Kapitalisme. Kapitalisme adalah berdasarkan pada Riba. Riba sendiri adalah ketidakseimbangan. Riba tersistem melalui perbankan, telah merubah kontrak-kontrak bisnis kriminal yang dilegalkan lewat undang-undang Negara Fiskal, menjadi alat untuk mendominasi ekonomi. Selama kita masih menjadi budak riba, masyarakat Muslim kita akan tetap diperbudak.

Sebuah masyarakat yang salah paham tentang dinamika dunia saat ini akan menemukan bahwa sulit untuk berfokus dalam Penentuan Tujuan. Semua tujuan tersapu bersih oleh emosi yang ada saat sekarang ini. Dan perbuatan yang diniatkan baik hilang karena kurangnya Arah Panduan. Dalam keadaan ini, tidak ada usaha apapun yang membuahkan hasil.

Memahami Riba adalah penting untuk memahami kapitalisme. Pemahaman Islam mengenai Riba membuka jalan untuk mengembalikan Muamalah dan dengan demikian menciptakan alat untuk menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi. Riba bukan hanya negatif. Riba membuka jalan bagi dihalalkannya semua transaksi haram. Ketika Umat Muslim bingung mana yang Halal dan mana yang Haram, musuh Islam dengan mudah menghancurkan semua usaha umat Islam untuk berbuat baik. Dalam dokumen ini kami ingin menyalakan sedikit cahaya korek api untuk menerangi gelapnya Hutan Belantara Riba supaya minimal tergambar satu langkah ke depan untuk menuju Muamalah.

Definisi Riba

Allah SWT Berfirman dalam al-Qur'an:

“Wa ahallallahul bai'a wa harramar riba” Allah telah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba


Riba adalah Lawan dari Perdagangan, Riba adalah sebentuk korupsi dalam perdagangan. Perdagangan tidak dapat berjalan bersama dengan Riba, begitu pula riba tidak dapat berjalan dengan perdagangan. Namun Riba telah menjadi Inti Wajah Kaum Kafir hari ini: Kapitalisme. Karena alasan ini, riba adalah isu politik paling penting yang dihadapi umat Muslim hari ini. Riba mempengaruhi setiap aspek kehidupan dan kejahatan riba dapat dilacak jejaknya kepada dua institusi: Bank dan Negara. Meskipun penting, pemahaman ini masih menetap di awang-awang bagi kebanyakan Muslim. Kebanyakan orang dengan sederhana berfikir bahwa riba hanya sekedar bunga. Realitas riba yang sesungguhnya adalah jauh lebih rumit dari sekedar bunga. Kesalahpahaman ini bukan terjadi begitu saja. Kesalahpahaman ini adalah hasil dari proses pendidikan yang salah dan indoktrinasi yang menghasilkan dua fenomena:

Pertama: Penghancuran kekuatan politik Kekhalifahan, dan
Kedua: Proses Reformasi Islam yang mengikuti hancurnya Kekhalifahan.

Kesalahpahaman ini membuka gerbang untuk meng-Islamkan institusi terpenting Kapitalisme: Bank. Sedangkan dalam Muamalah institusi terpentingnya adalah Pasar Terbuka.

Pendefinisian ulang Riba membuat para penyokong bank Syariah untuk membenarkan perbuatan riba mereka. Karena itulah penting untuk beralih kepada pemahaman yang benar dalam istilah riba ini menurut Fiqih, supaya kita semua dapat melihat apa yang HARAM dan apa yang HALAL. Ini sangat penting untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan oleh kapitalisme, dan kekuasaan ilusi yang dibangun oleh kapitalisme.

Kami akan mencoba untuk menerangkan sejelas mungkin Isu Riba dalam Hukum Syariah (Hukum Syara') dan untuk membetulkan kembali kesalahpahaman yang diciptakan oleh para ulama reformis dan modernis. Riba dalam bahasa Arab, secara kata berarti 'Kelebihan'. Qadi Abu Bakr ibnu al-Arabi dalam “Ahkamul Qur'an” mendefinisikan riba sebagai: 'Setiap kelebihan nilai barang yang diberikan atas nilai dari barang yang diterima. Kelebihan ini merujuk kepada dua perkara:

1] manfaat lebih yang timbul dari kelebihan yang tidak dapat dibenarkan dalam berat dan ukuran
2] manfaat lebih yang timbul dari penundaan yang tidak dapat dibenarkan

Ibnu Rusyd berkata:

“Para Fuqaha sepakat tentang riba dalam perdagangan terdiri dari dua jenis:

Penundaan (Nasi'ah) dan Kelebihan yang Ditetapkan (Tafadul).”

Karena itu riba ada dua:

1] Riba al-Fadl (kelebihan dari surplus)
2] Riba al-Nasiah (kelebihan dari penundaan)

Riba al-Fadl merujuk kepada Jumlah. Riba al-Nasiah merujuk kepada Penundaan Waktu.

Riba al-Fadl sangat mudah dimengerti. Dalam sebuah Utang, Riba al-Fadl adalah Bunga yang dikenakan. Tetapi secara umum, Riba al-Fadl digambarkan: Ketika Pihak Pertama meminta Tambahan atas barang yang diterima. Contoh: Pihak Pertama memberikan sesuatu senilai 100 untuk mendapatkan kelebihan misal menjadi 110.

Juga Haram ketika terjadi dua penjualan dalam satu kontrak (dikenal sebagai dua transaksi dalam satu transaksi). Juga Haram ketika Pihak Pertama mewajibkan penjualan sesuatu pada satu harga dan menjual kembali setelah beberapa waktu kepada penjual semula dengan harga yang dikurangi.

“Para Modernis dan Reformis” telah melakukan “Akrobat Fiqih1” untuk menyamarkan Riba sebab peminjaman uang ke bank terlalu kentara ribanya. Akrobat Fiqih yang dimaksud salah satunya adalah pada kontrak Murabahah ala Bank Syariah yang sebetulnya adalah Hutang Berbunga atas dasar Penundaan Waktu.

Riba al-Nasiah adalah lebih halus. Riba al-Nasiah adalah kelebihan waktu (penundaan) buatan yang ditambahkan pada transaksi. Riba al-Nasiah adalah penundaan yang tidak dapat dibenarkan. Riba al-Nasiah merujuk pada Kepemilikan ('ayn) dan Hutang (dayn) atas alat pembayaran (emas, perak dan bahan makanan pokok yang digunakan sebagai alat pembayaran). ‘Ayn adalah barang dagangan yang nyata, sering dirujuk sebagai Tunai. Dayn adalah janji pembayaran atau hutang atau apapun yang pembayarannya ditunda. Menukar (sarf) dayn dengan ‘ayn adalah sejenis Riba al-Nasiah. Menukar dayn dengan dayn juga Haram hukumnya. Dalam sebuah kegiatan Tukar-menukar hanya diijinkan menukar ‘ayn dengan ‘ayn.

Penjelasan ini didukung oleh banyak Hadist. Imam Malik meriwayatkan dalam kitab al-Muwatta2: “Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia telah mendengar bahwa al-Qasim ibnu Muhammad berkata, "'Umar ibnu al-Khattab berkata, 'Se-dinar dengan se-dinar, dan se-dirham dengan se-dirham, and se-sa' dengan se-sa'. Sesuatu untuk dikumpulkan kemudian tidak untuk dijual untuk sesuatu yang ada di tangan.'" Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa Abuz-Zinad mendengar Sa'id al Musayyab berkata "Riba yang hanya ada pada emas atau perak atau sesuatu yang ditimbang dan diukur dari sesuatu yang dimakan dan diminum."

Sedangkan ulama Madzhab Hanafi Abu Bakr al-Kasani (wafat. 587H) menulis:

“Adapun untuk riba al-nasa’ yakni perbedaan (kelebihan) antara akhir penundaan dan periode penundaan dan perbedaan (kelebihan) antara Kepemilikan (‘ayn) dan Hutang (Dayn) dalam hal-hal yang diukur dan ditimbang dengan jenis yang berbeda dan juga dalam hal-hal yang diukur dan ditimbang dengan keseragaman jenis. Adapun menurut Imam Asy-Syafi’i (rahimahullah) , “Riba adalah perbedaan antara akhir periode penundaan dalam bahan makanan dan logam berharga (dengan nilai kurs) secara rinci.”'

Riba al-nasiah secara khusus mengacu kepada penggunaan dayn dalam pertukaran (sarf) pada jenis yang sama. Tetapi keharamannya diperluas kepada Jual-Beli secara umum ketika dayn yang mewakili ayn melewati batasan ‘dibolehkannya penggunaan secara pribadi’ dan menggantikan‘ayn sebagai alat tukar. Imam Malik, rahimahullah, menggambarkan hal ini dalam kitabnya 'Al-Muwatta':

'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar Nota Utang (sukukun) diberikan kepada orang-orang di masa kepemimpinan Khalifah Marwan ibnu al-Hakam untuk barang-barang di pasar al-Jar. Orang-orang menjual dan membeli nota utang di antara mereka sebelum mereka mengirim barang. Zayd ibn Thabit, salah seorang Sahabat Rasulullah SAW, mendatangi Khalifah Marwan ibn Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah Engkau menghalalkan Riba?” Marwan berkata, “Saya berlindung kepada Allah! Apa itu?” Zayd berkata, “Nota-nota utang ini yang dengannya orang-orang berjual beli sebelum mereka mengirimkan barang.” Marwan lantas mengirimkan pengawal untuk mengikuti orang-orang dan merampas nota-nota utang itu dari tangan orang-orang dan mengembalikannya kepada para pemiliknya.'

Zayd ibnu Thabit secara khusus menyebut Riba kepada Nota-nota utang itu (dayn) 'yang orang-orang perdagangkan sebelum mengirim barang-barang'. Adalah diijinkan menggunakan emas dan perak atau bahan makanan untuk melakukan pembayaran, tetapi Anda tidak dapat MENGGUNAKAN janji pembayaran. Di dalam Janji Pembayaran terkandung kelebihan yang tidak diijinkan. Jika Anda memiliki dayn, Anda harus menarik dulu ‘ayn yang diwakili oleh dayn itu baru kemudian dapat bertransaksi. Anda tidak dapat menggunakan dayn sebagai uang.

Secara umum Aturan Islamnya adalah ‘Anda tidak boleh menjual Sesuatu yang Ada dengan Sesuatu yang Tiada. Praktek semacam ini disebut Rama’dan itu adalah Riba. Imam Malik melanjutkan:

'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari ‘Abdullah ibn Dinar dari ‘Abdullah ibn ‘Umar bahwa ‘Umar ibn al-Khattab berkata: “Jangan menjual Emas dengan Emas kecuali Semisal dengan Semisal. Dan jangan mengambil kelebihan darinya. Jangan menjual Perak dengan Perak kecuali Semisal, dan jangan mengambil kelebihan darinya. Jangan menjual ‘Sesuatu yang Ada’ dengan ‘Sesuatu yang Tiada. Jika seseorang memintamu menunggu pembayaran sampai dia masuk ke rumah, jangan meninggalkannya. Saya takutkan Rama’ padamu. Rama adalah Riba.”'

Rama’ hari ini adalah praktek yang lazim di pasar-pasar kita. Mata uang Dayn (uang kertas, nota utang) telah menggantikan penggunaan mata uang‘ayn (Dinar, Dirham). Praktek hari ini adalah apa yang Umar ibn al-Khattab maksudkan ketika dia berkata 'Saya takutkan Rama’ padamu.'

Menjual dengan Penundaan bukan hanya di-Haramkan pada logam, termasuk juga Makanan. Malik berkata, 'Rasulullah SAW, melarang menjual makanan sebelum melakukan pengiriman terhadap makanan tersebut.'

Karena itu apa yang di-haramkan dalam Riba al-nasiah, adalah Penambahan dari Penundaan yang dibuat-buat yang bukan sifat alami transaksi. Apa yang dimaksud dengan ‘Dibuat-buat’ dan ‘Sifat alami transaksi? Setiap transaksi memiliki fitrahnya masing-masing dari segi Waktu dan Harga.

Berikut ini Penjelasannya:

Dalam Utang-piutang, dihalalkan adanya Penundaan tetapi Diharamkan adanya Kelebihan Jumlah. Seseorang meminjamkan sejumlah uang, kemudian setelah beberapa waktu, pinjaman itu dikembalikan tanpa Penambahan. Dalam Utang-piutang, Kelebihan Waktu adalah Halal, tetapi Penambahan Jumlah Pembayaran adalah Haram. Ini adalah Riba al-Fadl.

Dalam Tukar-menukar Tiada Penundaan dan Tiada Kelebihan Jumlah. Satu Pihak menyerahkan sejumlah uang Tanpa Penundaan dan Jumlah yang Sama diberikan oleh Pihak Lainnya Tanpa Penundaan Pula. Penundaan adalah Haram dalam Tukar-menukar. Jika ingin penundaan menjadi Halal, maka transaksinya harus dirubah menjadi Utang-piutang. Anda tidak dapat menyebut Utang-piutang sebagai ‘Tukar-menukar yang Ditunda. Penundaan dalam Tukar-menukar adalah Riba al-Nasiah.

Sewa-menyewa melibatkan Penundaan dan Kelebihan sekaligus dan itu Halal. Ketika Anda menyewa rumah, Anda Mengambil-alih Kepemilikan rumah selama beberapa waktu (kelebihan waktu) dan Anda menyerahkan kembali kepada pemilik rumah itu atas Kepemilikan Rumah selama beberapa waktu ditambah (kelebihan) pembayaran uang sewa. Kelebihan-kelebihan ini baik itu Waktu dan Jumlah uang yang dibayarkan adalah Halal. Tetapi Anda hanya dapat menyewa ‘Barang-barang yang dapat disewakan’. Anda dapat menyewa mobil, rumah, kuda, tetapi Anda tidak dapat menyewa uang atau bahan makanan (barang-barang yang fungible). Berpura-pura menyewakan uang adalah ‘Merusak Fitrah Transaksi’ dan itu menjadikannya sebagai Riba.

Dengan demikian setiap transaksi memiliki fitrahnya masing-masing. Anda tidak dapat mengambil sifat alamiah suatu transaksi dan menerapkannya pada transaksi lain tanpa ‘Merusak Fitrah Transaksi’. Menambahkan sifat-sifat yang tidak dapat dibenarkan atau kelebihan kepada sebuah transaksi adalah Riba.

Dikarenakan Dayn itu sendiri adalah suatu Penundaan, penggunaan dayn adalah Haram digunakan sebagai alat pembayaran (uang). Adapun hukum dayn itu sendiri adalah Halal, yang diharamkan adalah menggunakannya sebagai uang. Dayn adalah Kontrak Pribadi antara dua individu dan Harus Tetap Pribadi. Transfer Dayn dari satu orang kepada orang lain dapat dilakukan secara Islami, tetapi dengan cara Penghapusan Dayn Pertama baru setelah itu dapat Menciptakan Dayn Berikutnya. Dayn diharamkan Beredar Bebas. Pemilik Dayn harus mencairkan kepemilikan uang yang diwakili oleh dayn yang dipegangnya sebelum bertransaksi. Dayn Haram digunakan dalam Tukar-menukar dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Dan secara khusus di-haramkan menggunakan dayn untuk membayar zakat.

Kesalahpahaman Reformis Islam dalam Memahami Riba

Para Reformis dan Modernis Islam telah Sengaja menyamakan Riba dengan Riba al-Fadl dan menyepelekan Riba al-nasiah. Ucapan ‘Riba adalah Bunga’ adalah bagian dari kesalahpahaman ini.

Kesalahpahaman mereka diawali oleh para Reformis awal, terutama Rashid Redha. Rashid Redha mengajukan klasifikasi baru mengenai Riba. Redha membuat perbedaan dalam perlakuan hukum yakni apa yang dia sebut ‘Riba berdasarkan Qur’an’ dan ‘Riba berdasarkan Sunnah’. Redha mengajukan bahwa Bentuk Pokok Riba adalah diharamkan oleh Qur’an, dan keharaman ini berlaku sepanjang waktu. Sebaliknya, Sunnah mengharamkan Riba yang Lebih Ringan - menurutnya – Apa yang Secara Umum Diharamkan (Haram) tetapi Dibolehkan (Mubah) karena suatu keharusan (darurah).

Ridha mengajukan bahwa Riba yang diharamkan oleh Qur’an adalah Riba Jahiliyah. (yakni ketika seorang penjual tidak dibayar hak nya setelah waktu yang ditentukan, penjual tersebut akan menaikkan harga) yang secara salah telah dia samakan dengan riba al-nasiah. Dan dia secara salah mengatakan bahwa Riba al-nasiah hanya haram ketika melibatkan Bunga Majemuk, dan karenanya Bunga Tunggal dia hukumi sebagai Mubah (boleh). Dia kemudian mengeluarkan Hukum Syara' bahwa Bunga Tunggal yang dikenakan atau dibayarkan oleh Bank sebagai Tidak Haram dalam artian Mubah berdasarkan Ketetapan dari Qur’an semata Tanpa Menyertakan Sunnah dalam pengambilan Hukum Syara’ ini.

Dia juga mengajukan bahwa pengharaman ‘Riba berdasarkan Sunnah’ mengacu Pertukaran Khusus. Contoh: Dua orang yang saling Tukar-menukar Emas, maka jumlah emas harus sama dalam berat di kedua pihak dan emas yang dipertukarkan harus berpindah tangan di situ dan saat itu juga (Tunai). Dia beralasan bahwa tidak seperti Riba Jahiliyah, transaksi seperti ini tidak dikenal di kalangan orang Arab, karena sulit membayangkan kenapa dua orang melakukan pertukaran dalam jumlah yang sama, untuk komoditas yang sama, pada satu waktu pula. Riba al-Fadl dipandang sebagai praktek barter yang ditinggalkan, yakni ketika orang-orang mempertukarkan emas dengan emas (dan yang semacamnya), namun transaksi seperti ini tidak dipraktekkan lagi karena itu 'Tidak perlu digubris larangan Haram dari Sunnah ini', demikian kira-kira menurut Rasyid Ridha.

Hadist Terkenal yang memuat ucapan ‘Tangan ke Tangan’ dan ‘Semisal dengan Semisal’ adalah mengacu pada Riba, tidak dipahami oleh ulama Modernis. Mereka tidak dapat memahami Sangkut Paut dari Istilah-istilah tersebut dengan Riba.. ‘Emas dengan Emas’, ‘Semisal dengan Semisal’, ‘Tangan ke Tangan’, adalah Gambaran Keseimbangan Transaksi yang ada dalam Sunnah. Satu aspek merujuk kepada Persamaan Jumlah yang mengacu pada Riba al-Fadl; aspek lainnya mengacu pada Kesegeraan Transaksi yang merujuk pada Riba al-Nasiah. Semua Gambaran Keseimbangan ini berfungsi meniadakan kemungkinan Pertukaran ‘Emas yang Tiada’ - (Dayn) dengan ‘Emas yang ada’ - (‘Ayn). Hal yang demikian adalah Sangat Terkait karena Pengabaian hal ini 'Membuka Celah' bagi Kafirun untuk menipu umat Muslim agar menyerahkan emas mereka dengan cara menukar Emas dengan Nota Utang Emas Palsu (yang merupakan bentuk asli uang kertas pada awalnya). Pengabaian Riba berdasarkan Sunnah ini juga digunakan oleh kaum Modernis untuk meng-Halal kan uang kertas.

Padahal Hadist tersebut secara Positif mengacu pada Transaksi Pertukaran Dinar dan Dirham dengan Pecahan yang Berbeda2. Dan secara Negatif mengacu kepada Ketidakmungkinan menggunakan Surat Janji Pembayaran dalam Pertukaran. Baik Positif atau Negatif, keduanya Saling Terkait dan penting bagi Umat Muslim.

Kesimpulan dari Pandangan Ridha adalah sebagai berikut:

A] Riba al-Nasiah hanyalah Riba al-Jahiliyyah. Dan hanya Bunga Majemuk yang diharamkan.
B] Riba al-fadl hanya terkait dengan Tukar-menukar dan bukan Aturan Pokok sehingga dapat diabaikan. Lagi pula Riba al-Fadl dapat di-boleh-kan (Mubah) dengan alasan darurah. demikan kata Ridha.

Para pengikut Ridha pada dasarnya memakai klasifikasi yang sama tetapi berbeda dengan Ridha pada Isu Bunga Majemuk. Para Pengikut Ridha sepakat bahwa Bunga Tunggal Juga Haram, tetapi mereka sepakat bahwa dalil Darurah membuat Bunga Tunggal yang Haram hukumnya menjadi Mubah (boleh) dan Mereka juga memandang bahwa Riba al-Fadl bukan hal pokok karena dipandang penerapannya hanya pada masalah barter.

Bantahan terhadap kaum Modernis Reformis dari kalangan Madzhab Maliki

Yang benar adalah baik itu Riba al-Nasiah dan Riba al-Fadl adalah di-Haramkan oleh Qur’an. Sebab kenyataannya Riba berdasarkan Qur’an dan Riba berdasarkan Sunnah persisnya adalah Sama. Gampangnya: Sunnah bertindak sebagai Syarah (penjelas) yang Hidup bagi Qur’an.

Riba yang dimaksud sebagai Riba al-Jahiliyyah oleh Rashid Ridha, mengandung Riba al-Nasiah dan Riba al-Fadl sekaligus. Dalam transaksi yang disebut Riba Jahiliyah, ada unsur Pembayaran Ditunda (Nasiah) dan sebagai gantinya diberikan Tambahan (Fadl).

Tetapi Riba al-Nasiah menyertakan lebih dari sekedar Riba al-Jahiliyah.

Implikasi dari Posisi Modernis dan Reformis Dengan menyepelekan sifat alami Riba al-Nasiah (Penundaan), kaum Modernis dan Reformis telah menghindari isu yang berkenaan dengan Uang Kertas. Marilah kita lihat isu yang dilupakan oleh kaum Modernis. Uang kertas dapat dianggap sebagai ‘Ayn atau sebagai Dayn.

A] Jika kita menerima fakta bahwa uang kertas adalah dayn, maka artinya wajib untuk membayar jumlah tertentu ‘Ayn, karena itu uang kertas tidak dapat digunakan untuk pertukaran dan Haram dalam dua praktek:

1- Dayn tidak dapat ditukar dengan Dayn. Uang kertas dengan Uang kertas adalah Hutang ditukar Hutang, Haram hukumnya. Imam Malik berkata: '[Transaksi yang Tidak Disetujui dari] Penundaan dengan Penundaan adalah menjual Hutang dengan Hutang.'

2- Dayn atas Emas dan Perak Tidak Dapat Ditukar dengan Emas dan Perak, karena Melawan Larangan Mendasar: 'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Nafi’ dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW, berkata, “Jangan Menjual Emas dengan Emas kecuali Semisal dengan Semisal dan Jangan Melebihkan satu bagian di atas bagian lain. Jangan Menjual Perak dengan Perak, kecuali Semisal dengan Semisal dan Jangan Melebihkan satu bagian di atas bagian lain. Jangan Menjual Sesuatu yang Tiada dengan Sesuatu yang Ada.'

B] Jika kita menerima bahwa Uang Kertas adalah ‘Ayn, maka Nilainya adalah Berat Kertasnya, bukan Angka yang tertulis di atasnya. Jika Nilai Uang Kertas dilebihkan berdasarkan Paksaan, Nilainya menjadi Rusak dan transaksinya Batal menurut Syari’at Islam. Uang Kertas digunakan oleh Negara Fiskal sebagai Pajak Ilegal dan Tidak dapat Mewakili Alat Pembayaran dalam Islam.

Memahami Riba al-Nasiah adalah Fundamental untuk Mampu memahami posisi umat Muslim terhadap Uang Kertas. Alasan kenapa ulama Modernis 'memelintir' definisi Riba adalah jelas untuk men-Sahkan sekaligus Menyembunyikan Kejahatan: Perbankan. Pembenaran ini kemudian menjadi Pembenaran atas Bank Islam. Asas Darurah, digabungkan dengan Penghilangan Riba al-Nasiah telah mengijinkan mereka membenarkan uang kertas dan membenarkan Fractional Reserve Banking yang merupakan dasar dari Sistem Perbankan Modern yang saat ini menjadi sumber utama bencana kemanusiaan yang tidak disadari oleh kebanyakan orang. Fractional Reserve Banking juga dipraktekkan oleh Bank Syariah. Insya Allah akan diterangkan di bagian berikutnya. Pemahaman yang tepat tentang Riba al-Nasiah Membongkar Uang Kertas sebagai Sebentuk Riba, Karena Uang Kertas dimaksudkan untuk digunakan dalam cara yang tidak diijinkan oleh Hukum Syariah.

Lebih Jauh dengan Uang Kertas

Yang pertama kali harus dilakukan sebelum menentukan Hukum Syara' adalah Memahami Permasalahan yang hendak dihukumi dalam hal ini adalah Uang Kertas. Baru setelah itu mencari Hukumnya dari Qur'an dan Fiqih.
Uang Kertas telah berubah berangsur-angsur dalam kurun sejarah yang cukup panjang. Apa yang kita pahami sekarang bahwa Uang Kertas sebagai 'Alat Tukar yang Sah', bukanlah fungsi sebenarnya dari uang kertas itu untuk menjadi 'Alat Tukar yang Sah'. Perubahan berangsur-angsur ini telah melewati Tiga Tahap:

1] Uang Kertas sebagai Nota Utang yang dijamin oleh Emas atau Perak.
2] Proses Penghilangan Jaminan Emas atau Perak dari Nota Utang.
3] Uang Kertas sebagai Selembar Kertas yang Tidak Dijamin oleh Logam Mulia apapun, yang Nilainya Ditentukan Secara Paksa oleh Negara.

Berikut ini Penjelasan dari Tiga Tahap itu:

1- Tahap Pertama

Di masa lalu, Uang Kertas dikeluarkan oleh Bank dan mewakili sejumlah Emas atau Perak yang dikenal dengan Logam Mulia. Namun demikian, Uang Kertas itu tidak pernah dijamin 100% oleh Logam Mulia, dulunya Bank Penerbit Uang Kertas Wajib membayar sejumlah Logam Mulia yang nilainya tertera di atas Nota Utang Kertas itu jika ditagih. Pada tahap ini Uang Kertas mewakili sejumlah Hutang Bank kepada Pemegang Uang Kertas.

Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai hal ini?

Sebelum dibahas, kita lanjutkan dulu uraian kejadian yang ada pada tahap pertama ini. Pada tahap ini sejumlah Emas dititipkan ke Bank dan Bank mengeluarkan Nota Utang sebagai tanda bahwa Pemilik Emas punya simpanan Emas di Bank itu.

A) Dalam Islam masalah di atas berkenaan dengan persoalan Amanah: Emas Anda dipercayakan kepada seorang Bendahara. Bagaimana Hukum Islam mengenai hal ini? Allah ta'ala berfirman dalam Qur'an Surat al'Imran (3, 75):

Memang ada di antara orang-orang Ahli Kitab yang jika kamu titipkan kepadanya sejumlah besar uang dikembalikannya kepadamu. Tetapi ada pula yang jika dititipi satu dinar pun tidak mau mengembalikan, kecuali jika kamu terus-menerus menagihnya. Ini oleh karena itikad jahatnya, yang berpendapat: "Tak ada kewajiban atas kami terhadap bangsa Arab buta agama. Begitulah mereka sengaja membuat kebohongan terhadap Allah sedang mereka itu mengetahui

Hukum Syara' mengenai Penitipan Amanah seperti ini, menurut Qadi Abu Bakr ibn al-Arabi dalam kitabnya ‘Ahkamul Qur'an’, adalah sebagai berikut:

“Haram bagi Muslim Menitipkan Amanah kepada Kuffar di luar Dar al-Islam,”

Maksud dari ayat ini adalah Haram bagi Muslim menitipkan uang kepada Kafir di manapun karena sekarang ini kita tidak punya Darul Islam.

Boleh menitipkan kepada seorang kafir jika tempat penitipan berada di wilayah kekuasaan Otoritas Muslim namun Haram jika penitipan harta berada di bawah Otoritas Kafir.

B) Jika Amanah berada di dalam Otoritas Muslim, maka Nota utang Haram digunakan sebagai Uang.

Berikut ini Sumber Hukum Islam berupa Sunnah dari kitab al-Muwatta Imam Malik:

Imam Malik berkata: “Seseorang hendaknya tidak membeli hutang yang dimiliki oleh orang lain apakah ada atau tiada, tanpa konfirmasi orang yang berhutang, begitu pula hendaknya seseorang tidak membeli hutang yang dimiliki oleh orang mati bahkan jika seseorang mengetahui apa yang almarhum tinggalkan. Karena membelinya adalah transaksi yang tidak pasti dan seseorang tidak mengetahui apakah transaksi itu akan diselesaikan atau tidak”

Dalam Penciptaan Nota Utang, Orang yang berhutang harus menjamin nilai nota hutang kepada orang yang menerima nota utang. Dengan demikian, nota utang pertama dicairkan dulu, baru kemudian boleh membuat nota utang baru. Nota utang tetap dijaga sebagai kontrak pribadi antara dua pihak. Alasannya adalah orang yang mengeluarkan nota utang bisa jadi mengeluarkan nota melebihi yang dapat dia bayar.

Contoh: si A mengambil 10kg Beras dari si B - Si A mengeluarkan nota utang yang menyatakan bahwa A berhutang 10kg Beras kepada si B - Sebelum nota pertama yang dikeluarkan si A dicairkan untuk membayar utang beras yang 10kg itu, maka si A tidak boleh mengeluarkan nota utang baru kepada si B.

Bank menerbitkan Nota uang kertas melebihi yang dapat ditanggung untuk dibayar. Jika setiap penyimpan di bank menarik nilai dari yang tertera di uang kertas yang dipegangnya, bank tidak akan mampu memenuhi kewajibannya.

Nota Utang Haram Digunakan dalam kegiatan Tukar-menukar (Sarf).

Dalam bab Pertukaran uang dalam kitab Muwatta Imam Malik berkata:

“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Ibn Shihab dari Malik ibn Aws ibn al‑Hadathan an-Nasri bahwa suatu kali dia diminta menukar 100 dinar. Dia berkata, ‘Talhah ibn ‘Ubaydullah memanggilku dan kami membuat kesepakatan saling menguntungkan bahwa dia akan melakukan pertukaran denganku. Dia mengambil emas dan membolak-balikkan di tangannya dan kemudian berkata, “Saya tidak dapat melakukannya sampai bendaharaku datang membawakan uang dari al-Ghaba.” ‘Umar ibn al-Khattab mendengarkan dan ‘Umar berkata, “Demi Allah! Jangan meninggalkannya sampai Engkau mengambil darinya!” Kemudian dia berkata, “Rasulullah SAW, bersabda, ‘Emas dengan Perak adalah Riba kecuali Tangan ke Tangan (Tunai). Gandum dengan gandum adalah Riba kecuali tangan ke tangan. Kurma dengan kurma adalah Riba kecuali tangan ke tangan. Barley dengan barley adalah Riba kecuali tangan ke tangan.’”

Dalam Islam Tukar-menukar harus Tunai, dua jenis yang dipertukarkan harus ada di tempat pada saat itu juga (Tunai), jika tidak masuk kategori Riba dan Riba adalah Haram.

Persoalan ini mengatur bahwa Nota Utang ditukar Nota Utang adalah Haram karena itu berarti Hutang ditukar Hutang. 'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar Nota Utang (sukukun) diberikan kepada orang-orang di masa kepemimpinan Khalifah Marwan ibn al-Hakam untuk barang-barang di pasar al-Jar. Orang-orang menjual dan membeli nota utang di antara mereka sebelum mereka mengirim barang. Zayd ibn Thabit, salah seorang Sahabat Rasulullah SAW, mendatangi Khalifah Marwan ibn Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah Engkau menghalalkan Riba?” Marwan berkata, “Saya berlindung kepada Allah! Apa itu?” Zayd berkata, “Nota-nota utang ini yang dengannya orang-orang berjual beli sebelum mereka mengirimkan barang.” Marwan lantas mengirimkan pengawal untuk mengikuti orang-orang dan merampas nota-nota utang itu dari tangan orang-orang dan mengembalikannya kepada para pemiliknya.'

Ini berarti Anda tidak dapat menggunakan nota utang untuk berdagang seolah-olah itu adalah uang. Kegunaan nota utang bukanlah untuk uang melainkan kontrak pribadi yang harus tetap pribadi dan tidak menjadi umum.

2- Tahap Kedua

Tahap ini merujuk kepada proses yang berlangsung bertahun-tahun ketika uang kertas secara tetap diturunkan nilainya (dibayar kurang dari nilai janji bayar yang tertulis di atasnya) sampai janji bayar benar-benar dicabut. Penghilangan total wajib bayar ini dilakukan pada dolar pada tahun 1973 ketika presiden AS Nixon secara sepihak menarik janji bayar 1 troy ons emas untuk setiap 35 dollar AS.

Bagaimana posisi Islam mengenai nota utang ketika pihak-pihak yang terlibat secara sepihak meng-ingkari janji untuk membayar?

Tentu saja tidak dapat diterima. Itu adalah pelanggaran kontrak. Jika ini dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dan tidak ada ganti bayar yang diterima, itu adalah pencurian murni. Pencurian dihukum dalam Islam.

Menggunakan Uang Kertas berarti Anda sepakat dengan Nota Utang dari lembaga yang jelas-jelas pencuri (bank) yang tidak mengakui kesalahannya atau membayar kewajiban utangnya di masa lalu.

3- Tahap Ketiga

Akhirnya kita sampai kepada uang yang kita miliki sekarang. Tidak ada janji bayar logam mulia apapun. Hanya nilai hukum berdasarkan kewajiban warga negara suatu negara unuk menerima mata uang nasional sebagai alat untuk menebus utang. Ini adalah Hukum Legal Tender. Itu memberi negara kewenangan untuk Menyita Kesejahteraan bangsa dan membayar kesejahteraan itu dengan nota uangnya sendiri.

Hal seperti ini Haram dalam Islam.

Imam Malik berkata uang adalah “setiap komoditas yang secara umum diterima sebagai media pembayaran. Hal ini berakibat pada dua hal:

A) Uang haruslah sebuah komoditas. Karenanya bisa saja berbentuk kertas. Tetapi kertas adalah berat kertasnya bukan nilai yang tertulis di atasnya. Uang haruslah sesuatu yang berwujud (‘ayn). Uang tidak dapat berupa janji bayar.

B) Uang harus umum diterima karena itu tidak dapat dipaksakan. Tidak seorangpun dapat berkata 'wajib bagimu terima uangku'. Bahkan tak seorangpun dapat membuat Dinar Emas dan Dirham Perak wajib bagi setiap orang. Dinar Emas dan Dirham Perak menjadi uang adalah pilihan bebas masyarakat bukan hasil dari undang-undang yang dipaksakan. Sedangkan Uang kertas dipaksakan kepada orang. Paksaan ini tidak dapat diterima dalam Islam untuk dua alasan:

- Memaksa Uang Kertas sebagai Uang adalah Penipuan: Negara mewajibkan Anda untuk menerima sesuatu di atas nilai aslinya (nilai aslinya adalah nol)

- Bersifat Memaksa. Anda diwajibkan untuk menerima uang kertas suka atau tidak.

Pelanggaran Hukum yang lebih jauh dilakukan oleh Hukum Negara yang membatasi penggunaan barang dagangan lain sebagai alat pembayaran2. Dengan demikian menguatkan monopoli Negara atas mata uang. Secara khusus berkenaan dengan Emas dan Perak. Emas dan perak, dipajaki, atau penggunaannya diatur dan terkadang tidak diijinkan. Dalam beberapa kasus ekstrim Emas disita oleh hukum dari warga negara perseorangan, sebagaimana yang telah terjadi di Amerika.

Kesimpulan Akhir Uang Kertas

Uang kertas Haram dalam hukum Islam. Apakah dalam bentuknya yang sekarang atau dalam bentuk lain yang telah terjadi di masa lalu. Uang Syar'i adalah Dinar Emas dan Dirham Perak. Setiap barang dagangan yang umum diterima sebagai alat tukar juga diterima sebagai Sah dalam Islam.

Lebih Jauh dengan Bank

Ketika status darurah terjadi, perbuatan yang diperintahkan adalah berusaha keluar dari situasi darurah, bukan malah melanggengkannya.

Karena itu prioritasnya adalah merubah kondisi darurah. Bunga dapat membantu keluar dari keadaan darurah pada saat kita diwajibkan untuk menggunakan akun bank. Bagaimana caranya? Dengan mendirikan alternatif yang tepat bagi sistem perbankan1, bukan bank yang lainnya, tetapi sebuah institusi yang dapat mengizinkan pembayaran tanpa berkenaan dengan aktifitas perbankan. Institusi itu hendaknya mengizinkan kita untuk melakukan pembayaran dan menabung dengan tata cara Islam.

Darurah berkenaan dengan lingkungan ekonomi. Karena itu untuk memahami masalah kita tidak cukup berfokus pada transaksi perdagangan, kita akan melihat lebih luas, menjajaki keadaan yang mengelilingi transaksi perdagangan. Dengan demikian kita perlu menyelidiki bagaimana institusi perbankan telah menjadi institusi yang hampir memonopoli penciptaan dan penanganan uang. Kita perlu melihat tabi'at dari perbankan, dan juga tabi'at dari uang kredit yang kita gunakan. Akhirnya kita perlu memahami uang dalam Islam, dan bagaimana kita dapat mendirikan kembali bingkai ekonomi Islam di mana bank bukan lagi hal darurah bagi kita, sambil kita tetap dapat memuaskan semua kebutuhan ekonomi kita.

Kunci untuk memahami situasi ekonomi kita sekarang adalah konsep Riba dalam Syariah. Tanpa pemahaman yang tepat terhadap apa yang Haram kita tidak akan mampu membuat penilaian Hukum Syara' yang benar terhadap suatu hal. Untuk memahami Riba kita perlu menghapus beberapa kesalahpahaman, seperti menyamakan bunga dengan Riba – sebab kenyataanya bunga dan riba tidaklah sama. Menyamakan bunga dengan Riba adalah membingungkan. Kalimat seperti ‘bebas bunga’ atau ‘bunga nol persen’ tidak berarti sebuah transaksi adalah bebas Riba. Kalimat-kalimat semacam itu adalah penipuan yang mengarahkan umat Muslim kepada praktek Haram.

Persoalan penting lain adalah untuk menyatakan bahwa Bank Syariah adalah Haram, sebagaimana halnya bank konvensional Haram tanpa terkecuali. Bank Syariah mempraktekkan Riba yang sama dengan bank konvensional, kecuali bahwa perbedaan-perbedaan istilah yang dijadikan kosmetik pemanis biar menarik, layaknya pelacur yang menarik umat Muslim untuk berzina dengan mengatakan bahwa zina di pelacuran syariah adalah zina Islami. Mereka menyesatkan umat Muslim yang awam dengan digunakannya istilah-istilah Arab dan penyalahtafsiran kontrak-kontrak Islam dan juga pengenalan beberapa praktek Haram tertentu seperti ‘dua transaksi dalam satu’, yang pada umumnya tidak diketahui keharamannya oleh kebanyakan orang. Bank Syariah melanggengkan praktek Haram dengan alasan darurah guna membenarkan penafsiran individu mereka terhadap Syariah, yang membenarkan praktek perbankan. Bank Syariah tidak diniatkan untuk merubah atau menghilangkan situasi darurah, karena hal yang demikian akan membongkar kebohongan mereka. Kita akan membahas persoalan ini lebih mendetail nanti ketika kita melihat metodologi yang digunakan oleh kaum Islam modernis untuk merubah pengertian Riba, sehingga membolehkan mereka menerima institusi perbankan dan uang kertas.

Akhirnya kita harus memahami pentingnya apa yang Halal, bagaimana ajaran Islam mengenai yang Halal. Kita telah kehilangan Muamalah Islam dan satu-satunya cara untuk mengembalikan praktek Syariah adalah mengembalikan beberapa aspek kritis infrastruktur ekonomi Islam (pasar terbuka) yang membuat Muamalah menjadi layak. Oleh karena itu masalah ini akhirnya harus menghasilkan pemulihan model ekonomi kita sendiri. Dalam model Islam, kita memiliki rujukan untuk mengembalikan cara berdagang yang benar dan menghilangkan riba dari hidup kita.

Kesalahpahaman Riba Akibat Perbuatan Reformis Agama dan Kapitalisme

Kapitalisme menimpa agama ketimbang berinteraksi dengannya. Supremasinya dalam masyarakat sekarang ini begitu mutlak sehingga kalimat seperti pajak dan tingkat suku bunga memerintah lebih pasti dari keberadaan Allah. Hukum agama telah dibelokkan guna mengikuti perintah perbankan. Keluar dari revolusi, masuk perang dan bencana ekonomi, kapitalisme telah mengatur dan memaksakan kekuasaan strukturalnya ke seluruh dunia. Keberhasilannya telah begitu menyeluruh hingga tidak ada lagi halangan bahkan secara intelektual. Menghilangnya para raja (yang mewakili hubungan kepada hukum tradisi) dan datangnya demokrasi sebagai pengganti, menyediakan tanah yang subur untuk pertumbuhan bagi pembentukan dunia berdasarkan pemikiran kapitalis.

Prestasi gemilang ini mengubah hukum di wilayah agama yang sebelumnya tidak tersentuh. Pemikiran kapitalisme memasuki penilaian hukum agama bahwa kapitalisme diterima sebagai sebuah 'anugerah Tuhan' dan digambarkan seperti penemuan mobil atau radio (maksudnya kemajuan). Kunci kepada hal ini adalah adaptasi larangan tradisi riba melalui pendefinisian yang hati-hati dari istilah riba. Perubahan kepada Kapitalisme menjadi lengkap dalam agama kristen selama proses rumit Reformasi Protestan. Prinsip-prinsip baru ini menghasilkan ‘kristenisasi perbankan’ dan pengucilan Hukum Kanonik kepada moralitas puritan personal. Umat Muslim juga memiliki reformasi sebagaimana halnya kaum protestan. Reformis Islam mengadopsi pola yang sama; adopsi moralitas puritan utamanya kelakuan seksual, dan 'Islamisasi perbankan'.

Apa yang kita sebut modernisme dalam Islam adalah sama dengan apa yang kaum Protestan sebut dalam dunia kristen. Dua golongan ini berbagi cetakan yang sama dan hasilnya pun sama bagi kapitalisme, yaitu pendefinisian ulang riba yang mengizinkan perbankan diterima sebagai bagian dari agama.

Dua hal yang diperlukan oleh perbankan agar diterima oleh agama:

1] Penerimaan bunga yang dikenakan pada pinjaman, baik secara jelas atau tersamar.
2] Penerimaan Fractional Reserve Banking, yakni sistem penciptaan nota utang sebagai pengganti logam mulia (asalnya, emas dan perak).

Hukum Kanonik, sebagaimana diwarisi dari para penulis skolastik dan para pendeta gereja kristen, mengenai persoalan riba sebagai hampir identik kepada bunga. Penafsiran ini berangkat dari paradigma pengikut Aristoteles yang menuntut bahwa nilai dan kontra nilai harus identik. Pengikut Aristoteles secara berangsur meninggalkannya demi definisi yang lebih simpel dan praktis yakni ‘riba sebagai bunga’. Akhirnya revolusi protestan mendefinisi ulang riba dari segala macam riba (tanpa peduli besar kecilnya jumlah) menjadi hanya ‘bunga yang berlebihan’. Penafsiran Protestan setuju bahwa setiap bunga yang sesuai dengan rate pasar diizinkan, dan hanya bunga yang ‘berlebihan’ kesenjangannya dengan pasarlah yang dianggap riba1. Tetapi dalam prakteknya, tanpa batasan yang disepakati berapa persenkah bunga menjadi riba, definisi tersebut sungguh sia-sia dan tak berarti.

Definisi pengikut Aristoteles hampir sama dengan pandangan Islam. Qadi Abu Bakar Ibnu al-‘Arabi mendefinisikan riba sebagai: “Setiap kelebihan yang tidak dapat dibenarkan antara nilai barang-barang yang diberikan dengan nilai barang yang didapat.” Ide umumnya adalah walaupun memiliki penilaian subjektif terhadap barang, dalam transaksi semacam itu harus ada kesamaan dalam satu nilai yang objektif. Para ahli ekonomi seperti Bentham2 menentang pandangan pengikut Aristoteles atas dasar preferensi nilai subjektif (yang terlihat sebagai nilai nyata). Dari sudut pandang pengikut Aristoteles ‘jika hanya pertukaran’ tidak masuk akal karena semua pertukaran berdasarkan definisi ini adalah tidak seimbang. Ini karena perspektif subjektif dan pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran selalu mengharapkan ‘utilitas’ yang lebih tinggi (nilai subjektif) dari barang yang diterima ketimbang barang yang dilepas. Dengan demikian, dari perspektif utilitarian, seperti halnya berkata “perdagangan sama dengan riba”. Dan Allah memperingatkan orang-orang yang berkata “perdagangan sama dengan riba” (Qur’an 2:274).

Setelah pandangan utilitarianismenya Bentham, semua bunga dalam bentuk apapun dianggap boleh. Pemikiran ekonomi yang datang setelah itu didasarkan pada 'kebolehan riba' oleh Bentham. Lebih jauh lagi, dari perspektif utilitarian ini tidak hanya bunga yang diterima tetapi ide tentang keseimbangan tidak lagi disangkut-pautkan dan karena itu diabaikan. Ini menjelaskan ketidakmampuan para ekonom untuk memahami definisi Islam mengenai Riba, yang didasarkan pada persamaan intrinsik dari transaksi semacam itu. Meninggalkan para ekonom dalam kebingungan tiada akhir ketika mencoba memahami ekuivalensi dalam Islam, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat “emas dengan emas, tangan ke tangan, semisal dengan semisal.” Kebingungan mengenai ekuivalensi ini’ adalah hal yang biasa bagi semua ahli ekonomi.

Makna Riba dalam Islam adalah lebih mendetail dan menyeluruh ketimbang Hukum Kanonikal. Ekuivalensi Aristoteles diperluas dan dicontohkan dalam Syariat. Syariat menawarkan pemahaman lengkap transaksi perdagangan dan Riba. Pemahaman yang diperluas ini menyertakan penjelasan mendetail dari makna 'kelebihan' dalam dua bentuk: perbedaan dan penundaan. Sebaliknya pemahaman Riba dalam dunia kristen hanya semata riba adalah bunga. Hukum Islam adalah lebih menyeluruh dan jelas. Misalkan, dalam transaksi tertentu yang tidak dibenarkan, dikenalkan penundaan yang dibuat-buat yang tidak dapat dibenarkan karena dipandang 'kelebihan', dan karena itu menimbulkan Riba. Bentuk riba ini telah mengecoh semua ilmuwan kristen di masa lalu. Celah yang lolos dari pemahaman kristen inilah yang berakibat riba akhirnya masuk ke dalam dunia kristen melalui instrumen perbankan dan utamanya penggunaan nota utang (yang di dalamnya ada unsur penundaan). Kami ingin menekankan pentingnya Riba an-nasiah sebagai cara mengenali bentuk riba yang signifikan yang mengecoh para ilmuwan kristen.

Para Reformis Islam

Di Mesir, selama akhir abad ke-19, sekelompok ulama palsu memulai versi Islam mereka sendiri yakni reformasi mirip kaum protestan. Di antara hal-hal yang mencoba mereka rubah adalah definisi Riba supaya dapat mengakomodir praktek perbankan di masa itu. Dari Muhammad ‘Abduh sampai ulama modern yang pro perbankan di sana menjalankan kegiatan belajar mengajar yang tidak terganggu, yakni menambah unsur baru kepada pendefinisian Islam, dan mengurangi unsur yang ada. Kegiatan inilah yang kita sebut modernisme. Pencapaian akhir dari kegiatan ini adalah ditemukannya Bank Syariah.

Inspirasi di balik gerakan modernis adalah Jamal-ud-Din al Afghani (1839-1897), sedangkan otaknya adalah Muhammad ‘Abduh (1845-1905), dan yang menyebarkannya adalah Rashid Reda (1865-1935). Gerakan ini pertama kali muncul sebagai penolakan terhadap kolonialisasi Barat, tetapi penolakan emosional yang disertai oleh kekaguman terhadap Barat.

Karena posisinya sebagai Mufti Besar Mesir – sebuah posisi yang diberikan kepadanya pada tahun 1899 oleh Lord Cromer, Gubernur Inggris di Mesir – Muhammad ‘Abduh menjadi tokoh yang paling berperan dalam perusakan Islam. Fatwa pertamanya sebagai Mufti Besar adalah sebagai berikut: “Bunga dalam simpanan tabungan adalah Boleh”. Dia menulis (5 Desember 1903):

“Penetapan Riba tidak diizinkan dalam bentuk apapun; sementara kantor pos menginvestasikan uang yang diambil dari masyarakat, yang tidak diambil dari pinjaman berdasarkan kebutuhan, karena itu mungkin untuk menerapkan investasi uang itu berdasarkan aturan bagi hasil.” [*maksudnya bagi hasil sama seperti Qirad] (Al-Manar, vol. VI, part 18, p. 717)

Penting untuk diperhatikan bahwa ketika dia mencela Riba, dia menerima perbankan. Ini adalah kelakuan semua ulama modernis. Dengan penetapan Hukum Syara' 'Boleh' terhadap Riba ini, dia membuka pintu kepada penerimaan perbankan Syariah. Walaupun dia tidak pernah memformulasikan ide Bank Syariah – karena dia tidak melihatnya sebagai penting untuk menyebutnya Syariah – tapi dia mendirikan dasar bagi ulama modern selanjutnya yang menyusun formulasi bank Syariah dari dasar yang didirikannya. Sebab dasar itu berarti menafsirkan ulang bunga sebagai keuntungan, sebagaimana halnya Syirkat atau Qirad. Penafsiran kritis ini dicapai oleh pengenalan satu set definisi buatan dan skema penipuan.

Muhammad Rashid Redha adalah pendiri majalah Al-Manar, yang disebarkan ke seluruh Dunia Islam. Dia berpartisipasi dalam lingkaran para penyokong konstitusi yang sama dan anti Daulah Utsmani sebagaimana Al-Afghani dan 'Abduh. Dia memusuhi Madzhab tradisional untuk memaksakan pendapatnya sendiri. Dia juga keras dalam memusuhi Tasawwuf. Pendapatnya mengenai Barat dan Riba jelas terlihat dalam tulisannya:

“Tidak ada dalam agama kita yang tidak sesuai dengan arus peradaban, terutama aspek yang dianggap berguna oleh semua bangsa beradab, kecuali berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang Riba dan saya siap untuk bersangsi [dari sudut pandang Syari'ah] bahwa semua pengalaman Eropa sebelum kita menunjukkan bahwa 'kemajuan negara1' adalah dibutuhkan untuk membesarkan Islam. Tetapi saya tidak akan menbatasi diri pada Madzhab yang ada, melainkan hanya bergantung kepada Qur'an dan Hadist Sahih.” (Al-Manar, vol. XII, p. 239)

Kalimat “kecuali berkaitan dengan beberapa pertanyaan tentang Riba” bermakna bahwa, misalkan, dia memandang tidak apa-apa memiliki polis asuransi jiwa (Al-Manar, vol. XXVII, p. 346, juga vol. VII, p. 384-8, dan vol. VIII, p. 588).

Dia juga mencela Ushul Fiqih dengan menyalahgunakan Qiyas untuk memperluas wilayah ke-Haraman hingga menyinggung pemungutan bunga modal, dan sebaliknya malah menyarankan untuk memungut bunga atas uang yang tersimpan di bank atau kantor pos sambil mengatakan bahwa itu bukan riba yang dilarang. (Al-Manar, vol. VII, p. 28).

Rashid Reda menciptakan penggolongan Riba baru yang menjadi pedoman bagi semua ulama modern setelahnya. Redha membuat perbedaan perlakuan hukum terhadap Riba yakni “Riba Berdasarkan Qur’an” dan “Riba Berdasarkan Sunnah”. Reda mengatur sedemikian rupa bahwa bentuk pokok Riba adalah yang diharamkan oleh Qur’an, dan keharaman ini berlaku sepanjang waktu. Sedangkan Riba Berdasarkan Sunnah, mengharamkan riba yang lebih ringan – menurutnya – yang umumnya diharamkan tetapi diizinkan karena keadaan darurah.

Kesalahpahaman Mengenai Riba An-Nasiah

Ulama modern pro perbankan telah mewarisi ‘kebingungan mengenai ekuivalensi’ yang sama yang menghantui para ekonom sejak Bentham. Mereka tidak dapat memahami makna ‘emas dengan emas, semisal dengan semisal, tangan ke tangan’. Mereka menyesatkan orang dengan mengganti makna kalimat dengan pemahaman yang lebih sederhana yakni bunga. Dengan demikian mereka mengabaikan dua hal: satu, makna menyeluruh ‘semisal dengan semisal’ yang artinya lebih dari sekedar bunga; dua, mereka sungguh mengabaikan isu penundaan.

Kesalahan mereka pada dasarnya sama dengan Ridha. Kesalahan pertama adalah mengidentifikasikan Riba dengan bunga. Mereka berkata bahwa Riba dan bunga adalah hal yang sama dan dapat dipertukarkan istilahnya. Kedua, kesalahan dalam penggolongan Riba yang menghasilkan pemahaman yang tidak memadai mengenai Riba an-nasiah.

Di antara para ulama modernis ini, beberapa telah datang dengan klasifikasi yang sama sekali baru:

Riba Hutang dan Riba Jual-beli. Keduanya mereka sebut ‘Riba al- Duyun’ dan ‘Riba al-Buyu’. Riba al-duyun merujuk kepada kontrak yang ada penundaan, seperti Hutang dan Jual-beli yang ditunda. Riba al-buyu’ merujuk kepada kontrak yang tidak ada penundaan, seperti Jual-beli pada umumnya dan kegiatan Tukar-menukar. Di bawah penggolongan ini mereka bersikeras dalam menyebut penerapan Riba al-fadl (kelebihan) kepada transaksi yang terjadi dalam jual beli1. Dan mereka mengidentifikasi Riba an-nasiah dengan Riba al-jahiliyyah dan juga kelebihan pembayaran dalam hutang. Ini adalah sama dengan penggolongannya Reda, kecuali mereka menggunakan istilah baru.

Para modernis ini menyalahtafsirkan Ayat (2:275) dengan mengartikan “Allah telah melarang Bunga”. Dan mereka benar-benar salah mengerti dengan memahami secara literal Hadis “Tidak ada Riba kecuali dalam nasiah.” Menurut kami Hadist ini tidak mengecualikan bentuk lain Riba.

Sedang menurut mereka keharaman Riba an-nasiah secara esensial menyiratkan bahwa Syari’ah tidak mengizinkan bunga. Bagi mereka, perkara yang dimaksud adalah “kelebihan pengembalian yang ditentukan di awal” (Chapra 1985, Towards a Just Monetary System. Leicester: The Islamic Foundation. p. 57).

Keharaman Riba yang diartikan sebagai “kelebihan pengembalian yang ditentukan di awal” – bersama dengan istilah “bebas bunga” – adalah aspek kunci lain yang menjadi tesis mereka, namun itu tidak dapat menggantikan makna sejati Riba yang sesungguhnya.

Apa yang penting mengenai isu ini adalah bahwa mereka menyamakan Riba an-nasiah dengan pinjaman, dan itu dihilangkan dari makna Tukar-menukar dan kontrak lain. Setelah itu kita akan melihat implikasi dari hal ini.

Mereka mengakui bahwa ada Riba al-fadl tetapi mereka juga sudah merubah maknanya. Mereka berkata bahwa Riba al-fadl dijumpai dalam pembelian tunai (tangan ke tangan) dan penjualan komoditas. Meliputi semua transaksi yang melibatkan pembayaran tunai pada satu pihak dan kesegeraan pengiriman komoditas di lain pihak. Ini membuat mereka pusing tujuh keliling mengenai makna penundaan dalam tukar-menukar. Mereka menyepelekan fakta bahwa kelebihan yang tidak dapat dibenarkan (tafadul) yang terjadi dalam sebuah hutang adalah Riba al-fadl juga. Kekosongan ini diisi dengan definisi pribadi mereka mengenai Riba an-nasiah, yang membuat mereka menghilangkannya dari makna yang sesungguhnya. Untuk memberikan kemiripan supaya tampak sah bagi posisi salah mereka, mereka mengutip semua otoritas dan Hadist tetapi merubah konteks dan memelintir makna mengenai jenis Riba apa yang dapat diterapkan2, dengan demikian menggelincirkan orang dari pemahaman menyeluruh mengenai Riba ini. Pendek kata, ini adalah benar-benar Penipuan.

Salah satu contoh penipuan, mereka berpendapat bahwa dari keharaman Riba al-fadl munculah Sabda Nabi, sallallahualayhi wasallam, yang meminta bahwa jika emas, perak, gandum, barley, kurma dan garam saling dipertukarkan maka hendaknya ditukar di tempat itu juga dan sama ukuran takaran serta timbangan. Walaupun mereka mengakui bahwa enam jenis komoditas yang disebutkan berfungsi sebagai uang pada jaman itu, mereka tidak mensejajarkan ini dengan tukar-menukar uang. Mereka berkata bahwa uang kertas bukan bagian dari keharaman karena bukan salah satu dari komoditas yang disebut dalam Hadist tersebut. Omongan ini jelas melenceng karena nota utang berlaku baik itu sebagai ‘ayn atau dayn. Jika sebagai ‘ayn nilainya adalah nol. Jika sebagai dayn, maka nota utang mewakili pembayaran yang ditunda yang tidak dibolehkan dalam kegiatan tukar-menukar.

Ketika menjelaskan signifikansi Riba al-fadl dan kenapa itu juga diharamkan, Chapra menyediakan alasan berikut ini:

Di permukaan, tampak sulit untuk memahami kenapa seseorang ingin menukarkan jenis komoditas yang sama misal emas dengan emas atau perak dengan perak atau komoditas lainnya, ditambah lagi harus di tempat itu juga. Dia berkata bahwa apa yang secara esensial dimaksud adalah keadilan dan permainan yang fair pada tempat transaksi; harga dan nilai barang hendaknya adil dalam semua transaksi ketika pembayaran tunai (terlepas dari apa yang menjadi uang) dibuat oleh satu pihak dan komoditas atau jasa dikirim sebagai balasannya oleh pihak yang satunya.

Dia berkata bahwa segala sesuatu yang diterima sebagai “ekstra” oleh salah satu dari dua pihak kepada transaksi adalah Riba al-fadl, yang dapat didefinisikan dalam kalimat Ibnu al-Arabi sebagai kelebihan atas apa yang dibenarkan oleh nilai sebaliknya. Karena itu dia berpendapat bahwa keadilan hanya dapat terjadi jika dua titik dari sebuah timbangan memuat barang-barang dengan nilai yang sama. Dan akhirnya dia menyimpulkan bahwa poin ini dijelaskan dengan sepatutnya oleh Nabi, sallallahualayhi wasallam, ketika Nabi merujuk kepada enam komoditas penting dan menekankan bahwa jika satu timbangan memiliki satu dari komoditas ini, timbangan lain juga harus memiliki komoditas yang sama, “semisal dengan semisal”.

Lebih jauh dia melanjutkan pendapat bahwa untuk menjamin keadilan, Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, bahkan mencegah transaksi barter dan meminta bahwa sebuah komoditi untuk dijual terlebih dulu dengan uang perak dan uang perak itu digunakan untuk membeli komoditas yang diperlukan. Ini karena tidak mungkin dalam transaksi barter, kecuali bagi seorang ahli, untuk secara tepat menentukan ekuivalensi yang adil pada satu barang dengan barang-barang lain. Dengan demikian ekuivalensi hanya dapat dibuat berdasarkan ukuran 'kira-kira' sehingga mengarah kepada ketidakadilan satu pihak atas pihak yang lain. Karena itu penggunaan uang membantu mengurangi kemungkinan pertukaran yang tidak adil. (Ibid, pp. 58-59).

Posisi ini menghilangkan kemungkinan Riba Nasi'ah dalam kegiatan Tukar-menukar. Dia berkata bahwa transaksi semacam 'emas dengan emas' tidak terjadi lagi dan karena itu isu ini menjadi tidak relevan. Kenyataannya adalah transaksi ini terjadi setiap hari, yakni setiap kali nota utang digunakan. Mereka hanya menganggap bahwa apa yang diharamkan hanyalah bunga pinjaman dan 'kelebihan' dari tukar-menukar jenis barang yang sama. Adapun semua hal lain disepelekan.

Mengikuti argumentasi sebelumnya Chapra lebih jauh menyimpulkan bahwa semua komoditas yang dipertukarkan di pasar kemungkinan terkena Riba al-fadl. Dia berkata bahwa keharamannya hanya dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan menghilangkan semua bentuk eksploitasi melalui pertukaran 'yang tidak adil' dan menutup semua pintu belakang Riba karena, dalam Syari'at Islam, segala sesuatu yang menjadi sarana kepada yang haram juga haram.

Dia berpendapat bahwa Nabi, sallallahualayhi wasallam, juga menyamakan dengan Riba, kecurangan halus para pelaku perdagangan di pasar dan harga yang terus naik dalam lelang dengan bantuan agen.

Dengan demikian dia berkata, uang ekstra yang diperoleh melalui eksploitasi semacam itu dan juga kegiatan penipuan adalah Riba al-fadl. Riba al-fadl menurutnya adalah setiap bentuk ketidakadilan, dan dia merekatkan kasusnya dengan Hadist Nabi, sallallahu alayhi wa sallam, yang berbunyi: “Tinggalkanlah hal yang menciptakan keraguan dalam pikiranmu untuk mendukung hal yang tidak menciptakan keraguan.” Dan juga Khalifah Umar yang berkata: “Berpantang bukan hanya dari Riba tapi juga dari Ribah” Ribah bermakna ‘ragu’ yang merujuk kepada income yang mirip Riba atau yang muncul dalam pikiran mengenai halal-haramnya. Meliputi income yang berasal dari ketidakadilan atau eksploitasi terhadap orang lain (Ibid, p.61).

Dengan demikian Riba al-fadl sepenuhnya didefinisikan ulang dalam istilah ketidakadilan dan Riba an-nasiah dikesampingkan menjadi sekedar riba yang berkenaan dengan pinjaman, di mana kenyataannya definisi itu tidak cocok kecuali dalam kasus “hutang dengan hutang” yakni dalam kasus 'hutang dibayar hutang'.

Merujuk kepada Fakhruddin al-Razi, Chapra menyimpulkan bahwa Riba an-nasiah dan Riba al-fadl adalah unsur esensial dari ayat:

“Allah telah menghalalkan Jual-beli dan mengharamkan Riba.”

Dan dia berkata bahwa saat Riba an-nasiah berhubungan dengan pinjaman dan diharamkan dalam ayat itu, Riba al-fadl berhubungan dengan perdagangan dan tersirat dalam bagian pertama. Dia berkata bahwa ketidakadilan yang ditimbulkan melalui Riba dapat langgeng melalu transaksi bisnis, dan Riba al-fadl merujuk kepada semua ketidakadilan dan eksploitasi, lelang, ketidakpastian, atau spekulasi bisnis, dan monopoli serta monopsoni (Ibid, p.61).

Sekarang kita akan menjajaki kalimat ini “Riba an-nasiah berhubungan dengan hutang” kita dapat memahami dasar kesalahan mereka. Apa yang Chapra dan lainnya katakan adalah bahwa Riba nasiah merujuk kepada Riba yang terjadi dalam transaksi yang memiliki penundaan (seperti hutang), sedangkan posisi yang tepat Riba an-nasiah adalah “penundaan yang tidak dibenarkan” yang terjadi di segala jenis transaksi (misalnya dapat terjadi pada Tukar-menukar). Kenyataannya walaupun ada penundaan dalam hutang, itu bukanlah penundaan yang haram. Penundaan dalam hutang adalah Halal (kecuali dalam kasus “hutang dengan hutang”). “Kelebihan yang tidak dibenarkan” dalam hutang adalah 'kelebihan pembayaran'. Karena itu penundaan bukan penyebab Riba dalam kasus hutang, melainkan kelebihan pembayaranlah yang jadi penyebab Riba. Jenis Riba yang diasosiasikan dengan pengenaan bunga pinjaman adalah Riba al-fadl dan bukan Riba an-nasiah.

Kesalahan ini bukan kesalahan yang sederhana, sebab membawa akibat penting. Dengan mendefinisi ulang Riba an-nasiah, justru menghilangkan makna sehingga kehilangan kemampuan mendefinisikan ke-Haraman dalam penundaan yang diharamkan. Ini akan mencegah para Bankir Syariah dari kemampuan mempertanyakan keharaman penggunaan nota utang dalam pertukaran dan transaksi lain di mana penggunaan dayn adalah haram. Kesalahan ini adalah pintu belakang pembenaran uang kertas.

Para Bankir Syariah setuju bahwa bunga yang dikenakan oleh bank konvensional “adalah identik dengan kelebihan yang ditetapkan di awal sebagai kewajiban yang harus dibayar, yang merupakan salah satu dari dua jenis riba yang diharamkan oleh Syariat Islam.” Tetapi mereka menyepelekan pertanyaan apapun tentang kemungkinan Riba oleh penundaan dalam pertukaran dan transaksi lain, juga pemahaman kritis tentang uang kertas. Akademi Fiqih Islam yang didirikan oleh Organisasi Konferensi Islam (OIC) dalam sesi kedua yang diselenggarakan di Jeddah, Saudi Arabia, 22-28 December 1985, mendeklarasikan bahwa “setiap kelebihan atau keuntungan pada pinjaman yang telah jatuh tempo, sebagai imbalan atas perpanjangan tanggal jatuh tempo, dalam hal peminjam tidak mampu membayar, dan setiap kelebihan atau keuntungan pinjaman pada saat dimulainya perjanjian pinjaman, keduanya adalah bentuk Riba, yang diharamkan oleh Syariah” (Ausaf Ahmed 1995, Evolusi Bank Islam. Dalam Ensiklopedia Bank Islam, London: Institut Asuransi dan Bank Islam. p.17).

Kesimpulannya, klasifikasi kaum modernis mereduksi Riba kepada dua isu:

Bunga dalam pinjaman dan setiap jenis monopoli atau monopsoni, atau peningkatan harga terus-menerus di pasar. Yang pertama mereka sebut semena-mena sebagai Riba an-nasiah, dan yang kedua Riba al-fadl. Klasifikasi ini memelintir makna dari dua jenis Riba itu dan menyepelekan isu penting penggunaan uang kertas dalam pertukaran dan seluruh permasalahan uang kertas. Dalam esensinya, ide mereka tentang Riba adalah bunga pinjaman.

Menyamakan Riba dengan Bunga Pinjaman

Ulama pro perbankan menyamakan bunga dengan Riba. Menurut mereka, Riba merujuk kepada iuran yang harus dibayar oleh peminjam kepada yang meminjami bersama dengan utang pokok sebagai syarat pinjaman atau perpanjangan utang yang jatuh tempo (Chapra 1985, p.64). Dengan kata lain, Riba adalah kelebihan pengembalian yang ditentukan. Di masa lalu telah ada sengketa apakah Riba merujuk kepada sekedar bunga atau semua jenis riba, tetapi sekarang ada kesepakatan di antara para ulama modern bahwa istilah Riba meliputi semua bentuk bunga dan bukan hanya bunga yang “berlebihan” [sebagaimana dipercaya oleh Ridha dan yang lainnya] (Khan, W. M. (1985), Menuju Sistem Ekonomi Islam Bebas Bunga. Leicester, Islamabad: Yayasan Islam, Asosiasi Internasional Ekonomi Islam. p.52).

Ulama modern telah menyimpulkan bahwa karakteristik terpenting Riba adalah hasil pasti dari uang ketika berubah jumlah. Dengan kata lain, ketika uang beranak uang, tanpa ditukar dengan barang atau jasa, maka disebut Riba. Karakteristik dasarnya menurut mereka adalah:

1. Harus berhubungan dengan pinjaman;
2. Kelebihan disepakati di awal yang harus dibayar ketika jatuh tempo;
3. Waktu yang ditetapkan untuk pembayaran ulang; dan
4. Semua unsur untuk pembayaran ulang ini diambil sebagai syarat pinjaman. Dalam semua pandangan yang mereduksi Riba ini keseluruhan isu Penundaan disepelekan.