Lebih Jauh dengan Uang Kertas

Yang pertama kali harus dilakukan sebelum menentukan Hukum Syara' adalah Memahami Permasalahan yang hendak dihukumi dalam hal ini adalah Uang Kertas. Baru setelah itu mencari Hukumnya dari Qur'an dan Fiqih.
Uang Kertas telah berubah berangsur-angsur dalam kurun sejarah yang cukup panjang. Apa yang kita pahami sekarang bahwa Uang Kertas sebagai 'Alat Tukar yang Sah', bukanlah fungsi sebenarnya dari uang kertas itu untuk menjadi 'Alat Tukar yang Sah'. Perubahan berangsur-angsur ini telah melewati Tiga Tahap:

1] Uang Kertas sebagai Nota Utang yang dijamin oleh Emas atau Perak.
2] Proses Penghilangan Jaminan Emas atau Perak dari Nota Utang.
3] Uang Kertas sebagai Selembar Kertas yang Tidak Dijamin oleh Logam Mulia apapun, yang Nilainya Ditentukan Secara Paksa oleh Negara.

Berikut ini Penjelasan dari Tiga Tahap itu:

1- Tahap Pertama

Di masa lalu, Uang Kertas dikeluarkan oleh Bank dan mewakili sejumlah Emas atau Perak yang dikenal dengan Logam Mulia. Namun demikian, Uang Kertas itu tidak pernah dijamin 100% oleh Logam Mulia, dulunya Bank Penerbit Uang Kertas Wajib membayar sejumlah Logam Mulia yang nilainya tertera di atas Nota Utang Kertas itu jika ditagih. Pada tahap ini Uang Kertas mewakili sejumlah Hutang Bank kepada Pemegang Uang Kertas.

Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai hal ini?

Sebelum dibahas, kita lanjutkan dulu uraian kejadian yang ada pada tahap pertama ini. Pada tahap ini sejumlah Emas dititipkan ke Bank dan Bank mengeluarkan Nota Utang sebagai tanda bahwa Pemilik Emas punya simpanan Emas di Bank itu.

A) Dalam Islam masalah di atas berkenaan dengan persoalan Amanah: Emas Anda dipercayakan kepada seorang Bendahara. Bagaimana Hukum Islam mengenai hal ini? Allah ta'ala berfirman dalam Qur'an Surat al'Imran (3, 75):

Memang ada di antara orang-orang Ahli Kitab yang jika kamu titipkan kepadanya sejumlah besar uang dikembalikannya kepadamu. Tetapi ada pula yang jika dititipi satu dinar pun tidak mau mengembalikan, kecuali jika kamu terus-menerus menagihnya. Ini oleh karena itikad jahatnya, yang berpendapat: "Tak ada kewajiban atas kami terhadap bangsa Arab buta agama. Begitulah mereka sengaja membuat kebohongan terhadap Allah sedang mereka itu mengetahui

Hukum Syara' mengenai Penitipan Amanah seperti ini, menurut Qadi Abu Bakr ibn al-Arabi dalam kitabnya ‘Ahkamul Qur'an’, adalah sebagai berikut:

“Haram bagi Muslim Menitipkan Amanah kepada Kuffar di luar Dar al-Islam,”

Maksud dari ayat ini adalah Haram bagi Muslim menitipkan uang kepada Kafir di manapun karena sekarang ini kita tidak punya Darul Islam.

Boleh menitipkan kepada seorang kafir jika tempat penitipan berada di wilayah kekuasaan Otoritas Muslim namun Haram jika penitipan harta berada di bawah Otoritas Kafir.

B) Jika Amanah berada di dalam Otoritas Muslim, maka Nota utang Haram digunakan sebagai Uang.

Berikut ini Sumber Hukum Islam berupa Sunnah dari kitab al-Muwatta Imam Malik:

Imam Malik berkata: “Seseorang hendaknya tidak membeli hutang yang dimiliki oleh orang lain apakah ada atau tiada, tanpa konfirmasi orang yang berhutang, begitu pula hendaknya seseorang tidak membeli hutang yang dimiliki oleh orang mati bahkan jika seseorang mengetahui apa yang almarhum tinggalkan. Karena membelinya adalah transaksi yang tidak pasti dan seseorang tidak mengetahui apakah transaksi itu akan diselesaikan atau tidak”

Dalam Penciptaan Nota Utang, Orang yang berhutang harus menjamin nilai nota hutang kepada orang yang menerima nota utang. Dengan demikian, nota utang pertama dicairkan dulu, baru kemudian boleh membuat nota utang baru. Nota utang tetap dijaga sebagai kontrak pribadi antara dua pihak. Alasannya adalah orang yang mengeluarkan nota utang bisa jadi mengeluarkan nota melebihi yang dapat dia bayar.

Contoh: si A mengambil 10kg Beras dari si B - Si A mengeluarkan nota utang yang menyatakan bahwa A berhutang 10kg Beras kepada si B - Sebelum nota pertama yang dikeluarkan si A dicairkan untuk membayar utang beras yang 10kg itu, maka si A tidak boleh mengeluarkan nota utang baru kepada si B.

Bank menerbitkan Nota uang kertas melebihi yang dapat ditanggung untuk dibayar. Jika setiap penyimpan di bank menarik nilai dari yang tertera di uang kertas yang dipegangnya, bank tidak akan mampu memenuhi kewajibannya.

Nota Utang Haram Digunakan dalam kegiatan Tukar-menukar (Sarf).

Dalam bab Pertukaran uang dalam kitab Muwatta Imam Malik berkata:

“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Ibn Shihab dari Malik ibn Aws ibn al‑Hadathan an-Nasri bahwa suatu kali dia diminta menukar 100 dinar. Dia berkata, ‘Talhah ibn ‘Ubaydullah memanggilku dan kami membuat kesepakatan saling menguntungkan bahwa dia akan melakukan pertukaran denganku. Dia mengambil emas dan membolak-balikkan di tangannya dan kemudian berkata, “Saya tidak dapat melakukannya sampai bendaharaku datang membawakan uang dari al-Ghaba.” ‘Umar ibn al-Khattab mendengarkan dan ‘Umar berkata, “Demi Allah! Jangan meninggalkannya sampai Engkau mengambil darinya!” Kemudian dia berkata, “Rasulullah SAW, bersabda, ‘Emas dengan Perak adalah Riba kecuali Tangan ke Tangan (Tunai). Gandum dengan gandum adalah Riba kecuali tangan ke tangan. Kurma dengan kurma adalah Riba kecuali tangan ke tangan. Barley dengan barley adalah Riba kecuali tangan ke tangan.’”

Dalam Islam Tukar-menukar harus Tunai, dua jenis yang dipertukarkan harus ada di tempat pada saat itu juga (Tunai), jika tidak masuk kategori Riba dan Riba adalah Haram.

Persoalan ini mengatur bahwa Nota Utang ditukar Nota Utang adalah Haram karena itu berarti Hutang ditukar Hutang. 'Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar Nota Utang (sukukun) diberikan kepada orang-orang di masa kepemimpinan Khalifah Marwan ibn al-Hakam untuk barang-barang di pasar al-Jar. Orang-orang menjual dan membeli nota utang di antara mereka sebelum mereka mengirim barang. Zayd ibn Thabit, salah seorang Sahabat Rasulullah SAW, mendatangi Khalifah Marwan ibn Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah Engkau menghalalkan Riba?” Marwan berkata, “Saya berlindung kepada Allah! Apa itu?” Zayd berkata, “Nota-nota utang ini yang dengannya orang-orang berjual beli sebelum mereka mengirimkan barang.” Marwan lantas mengirimkan pengawal untuk mengikuti orang-orang dan merampas nota-nota utang itu dari tangan orang-orang dan mengembalikannya kepada para pemiliknya.'

Ini berarti Anda tidak dapat menggunakan nota utang untuk berdagang seolah-olah itu adalah uang. Kegunaan nota utang bukanlah untuk uang melainkan kontrak pribadi yang harus tetap pribadi dan tidak menjadi umum.

2- Tahap Kedua

Tahap ini merujuk kepada proses yang berlangsung bertahun-tahun ketika uang kertas secara tetap diturunkan nilainya (dibayar kurang dari nilai janji bayar yang tertulis di atasnya) sampai janji bayar benar-benar dicabut. Penghilangan total wajib bayar ini dilakukan pada dolar pada tahun 1973 ketika presiden AS Nixon secara sepihak menarik janji bayar 1 troy ons emas untuk setiap 35 dollar AS.

Bagaimana posisi Islam mengenai nota utang ketika pihak-pihak yang terlibat secara sepihak meng-ingkari janji untuk membayar?

Tentu saja tidak dapat diterima. Itu adalah pelanggaran kontrak. Jika ini dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dan tidak ada ganti bayar yang diterima, itu adalah pencurian murni. Pencurian dihukum dalam Islam.

Menggunakan Uang Kertas berarti Anda sepakat dengan Nota Utang dari lembaga yang jelas-jelas pencuri (bank) yang tidak mengakui kesalahannya atau membayar kewajiban utangnya di masa lalu.

3- Tahap Ketiga

Akhirnya kita sampai kepada uang yang kita miliki sekarang. Tidak ada janji bayar logam mulia apapun. Hanya nilai hukum berdasarkan kewajiban warga negara suatu negara unuk menerima mata uang nasional sebagai alat untuk menebus utang. Ini adalah Hukum Legal Tender. Itu memberi negara kewenangan untuk Menyita Kesejahteraan bangsa dan membayar kesejahteraan itu dengan nota uangnya sendiri.

Hal seperti ini Haram dalam Islam.

Imam Malik berkata uang adalah “setiap komoditas yang secara umum diterima sebagai media pembayaran. Hal ini berakibat pada dua hal:

A) Uang haruslah sebuah komoditas. Karenanya bisa saja berbentuk kertas. Tetapi kertas adalah berat kertasnya bukan nilai yang tertulis di atasnya. Uang haruslah sesuatu yang berwujud (‘ayn). Uang tidak dapat berupa janji bayar.

B) Uang harus umum diterima karena itu tidak dapat dipaksakan. Tidak seorangpun dapat berkata 'wajib bagimu terima uangku'. Bahkan tak seorangpun dapat membuat Dinar Emas dan Dirham Perak wajib bagi setiap orang. Dinar Emas dan Dirham Perak menjadi uang adalah pilihan bebas masyarakat bukan hasil dari undang-undang yang dipaksakan. Sedangkan Uang kertas dipaksakan kepada orang. Paksaan ini tidak dapat diterima dalam Islam untuk dua alasan:

- Memaksa Uang Kertas sebagai Uang adalah Penipuan: Negara mewajibkan Anda untuk menerima sesuatu di atas nilai aslinya (nilai aslinya adalah nol)

- Bersifat Memaksa. Anda diwajibkan untuk menerima uang kertas suka atau tidak.

Pelanggaran Hukum yang lebih jauh dilakukan oleh Hukum Negara yang membatasi penggunaan barang dagangan lain sebagai alat pembayaran2. Dengan demikian menguatkan monopoli Negara atas mata uang. Secara khusus berkenaan dengan Emas dan Perak. Emas dan perak, dipajaki, atau penggunaannya diatur dan terkadang tidak diijinkan. Dalam beberapa kasus ekstrim Emas disita oleh hukum dari warga negara perseorangan, sebagaimana yang telah terjadi di Amerika.

Kesimpulan Akhir Uang Kertas

Uang kertas Haram dalam hukum Islam. Apakah dalam bentuknya yang sekarang atau dalam bentuk lain yang telah terjadi di masa lalu. Uang Syar'i adalah Dinar Emas dan Dirham Perak. Setiap barang dagangan yang umum diterima sebagai alat tukar juga diterima sebagai Sah dalam Islam.