Bahaya dari Pengambilan Semata Prinsipnya Saja dari Kontrak Muamalah

Pada saat kontrak Muamalah diambil prinsipnya saja, maka penafsiran akan tercerabut dari ‘Amal1. Hasilnya adalah bahwa ekonomi Syariah dapat bebas dibikin bentuk apapun untuk tujuan 'men-Syariah-kan kapitalisme’.

Dengan menggunakan karya dari orang seperti Taqi Osmani, satu pasukan baru Bankir Syariah 'berijtihad' dan membangun dasar, melalui metodologi dan prinsip yang sama, mereka bergerak kepada lapisan selanjutnya 'men-Syariah-kan kapitalisme’. Ketika sampai kepada men-Syariah-kan obligasi dan turunannya, sumber-sumber asli Syariah benar-benar dilupakan dan tidak lagi menggunakan pijakan pengambilan “hukum syara'” oleh generasi bankir Syariah yang sebelumnya. Hasilnya adalah khayal di atas khayal. ‘Men-Syariah-kan’ pasar masa depan adalah yang terakhir, namun bukan langkah terakhir, perkembangan penipuan ini menjadi tak terkendali dengan sebutan ‘ekonomi Syariah’. Mengenai isu ini lihat Sebuah Bantahan Yuridis terhadap Taqi Osmani ditulis oleh Hadhrat Maulana Mufti Habibullaah dari Pakistan. Mufti Habibullaah menulis:"

“Saya telah membuat studi mendalam tentang buku Mufti Muhammad Taqi Utsmani Sahib, berjudul Islaam Aur Jadeed Ma' eeshat Wa Tijaarat (Islam dan Kehidupan serta Perdagangan Modern). Saya menyimpulkan bahwa Mufti Sahib telah bertindak percuma membangun sistem kapitalis dengan bantuan Islam dan Syariah. Sementara Islam menolak sistem ini, Mufti Saheb malah membuat Syariah tunduk kepada sistem kapitalisme. Tetapi kami (Muslim) kehidupan sosial dan politiknya tunduk kepada Syariah. Mufti Saheb telah berusaha menambahkan kata Jadeed (modern), guna menyajikan sistem kapitalis dalam nuansa syariah. Ini adalah upaya membangun keuntungan moneter bagi para kapitalis yang akan menuntun umat Muslim jadi percaya bahwa keuntungan mereka adalah keuntungan halal. Jadi, mereka akan memanfaatkan keuntungan tersebut tanpa memahami dosa atau tidaknya. Yang demikian benar-benar tak bernilai apapun baik itu di dunia maupun juga di akhirat nanti.”

Teknik yang digunakan adalah merubah Hukum Syariah ke dalam prinsip abstrak tanpa konteks ‘amalnya dan kemudian penerapan bebas prinsip-prinsip ini dengan qiyas kepada kontrak yang sama sekali baru. Dengan demikian proses ini dianggap sebagai “Men-Syariah-kan sebuah Kontrak”. Berikut ini adalah contoh bagaimana Mudarabah secara prinsip ditafsirkan sebagai bagi-hasil dan Musyarakah sebagai persamaan partisipasi. Implikasinya adalah Mudarabah adalah sebagai sebuah kontrak Syariah yang disahkan oleh Fiqih menjadi segala bentuk bagi-hasil berdasarkan kontrak kapitalis.

“Pengambilan semata prinsip Mudarabah-Musyarakah ini (bagi-hasil & persamaan partisipasi) kepada kontrak pembiayaan lebih dekat kepada partisipasi kooperatif dan aktif antara pemegang saham ketimbang pendayagunaan harta mengendap yang dimiliki oleh seorang kaya untuk memodali partner usahanya.” (Prof. Dr. Masudul Alam Choudhury, Ekonomi Politik Islam, sebuah Kritik kepada Ekonomi Islam. Dipublikasikan dalam jurnal Ekonomi Politik Alternatif. Vol I, No I, January 99; Penang, 1999, p. 9.)

Pencatutan istilah ekonomi yang tampaknya tidak berbahaya ini memiliki implikasi ganda.

Satu, pencatutan istilah telah menyederhanakan dan menggantikan sifat alamiah yang rumit dari ‘amal yang sesungguhnya, guna mendukung prinsip-prinsip (yang de facto disebut prinsip-prinsip Syariah) yang secara diam-diam membawa semua konotasi dan latar belakang filosofi yang berbeda.

Dua, prinsip-prinsip Syariah ini digunakan untuk melabeli dan membenarkan situasi lain yang sama sekali berbeda dari kontrak aslinya.

Mudarabah atau Qirad adalah lebih dari sekedar ‘bagi hasil’. Banyak kewajiban dan larangan dalam 'Amal Syariah nya yang tidak tercakup oleh istilah ‘bagi-hasil’. Syarikat atau Syirkat berbeda dari ‘persamaan partisipasi’. Apa yang dipahami dengan persamaan partisipasi dalam kapitalisme dan dalam Hukum Syariah adalah benar-benar berbeda.