Kesalahpahaman Riba Akibat Perbuatan Reformis Agama dan Kapitalisme

Kapitalisme menimpa agama ketimbang berinteraksi dengannya. Supremasinya dalam masyarakat sekarang ini begitu mutlak sehingga kalimat seperti pajak dan tingkat suku bunga memerintah lebih pasti dari keberadaan Allah. Hukum agama telah dibelokkan guna mengikuti perintah perbankan. Keluar dari revolusi, masuk perang dan bencana ekonomi, kapitalisme telah mengatur dan memaksakan kekuasaan strukturalnya ke seluruh dunia. Keberhasilannya telah begitu menyeluruh hingga tidak ada lagi halangan bahkan secara intelektual. Menghilangnya para raja (yang mewakili hubungan kepada hukum tradisi) dan datangnya demokrasi sebagai pengganti, menyediakan tanah yang subur untuk pertumbuhan bagi pembentukan dunia berdasarkan pemikiran kapitalis.

Prestasi gemilang ini mengubah hukum di wilayah agama yang sebelumnya tidak tersentuh. Pemikiran kapitalisme memasuki penilaian hukum agama bahwa kapitalisme diterima sebagai sebuah 'anugerah Tuhan' dan digambarkan seperti penemuan mobil atau radio (maksudnya kemajuan). Kunci kepada hal ini adalah adaptasi larangan tradisi riba melalui pendefinisian yang hati-hati dari istilah riba. Perubahan kepada Kapitalisme menjadi lengkap dalam agama kristen selama proses rumit Reformasi Protestan. Prinsip-prinsip baru ini menghasilkan ‘kristenisasi perbankan’ dan pengucilan Hukum Kanonik kepada moralitas puritan personal. Umat Muslim juga memiliki reformasi sebagaimana halnya kaum protestan. Reformis Islam mengadopsi pola yang sama; adopsi moralitas puritan utamanya kelakuan seksual, dan 'Islamisasi perbankan'.

Apa yang kita sebut modernisme dalam Islam adalah sama dengan apa yang kaum Protestan sebut dalam dunia kristen. Dua golongan ini berbagi cetakan yang sama dan hasilnya pun sama bagi kapitalisme, yaitu pendefinisian ulang riba yang mengizinkan perbankan diterima sebagai bagian dari agama.

Dua hal yang diperlukan oleh perbankan agar diterima oleh agama:

1] Penerimaan bunga yang dikenakan pada pinjaman, baik secara jelas atau tersamar.
2] Penerimaan Fractional Reserve Banking, yakni sistem penciptaan nota utang sebagai pengganti logam mulia (asalnya, emas dan perak).

Hukum Kanonik, sebagaimana diwarisi dari para penulis skolastik dan para pendeta gereja kristen, mengenai persoalan riba sebagai hampir identik kepada bunga. Penafsiran ini berangkat dari paradigma pengikut Aristoteles yang menuntut bahwa nilai dan kontra nilai harus identik. Pengikut Aristoteles secara berangsur meninggalkannya demi definisi yang lebih simpel dan praktis yakni ‘riba sebagai bunga’. Akhirnya revolusi protestan mendefinisi ulang riba dari segala macam riba (tanpa peduli besar kecilnya jumlah) menjadi hanya ‘bunga yang berlebihan’. Penafsiran Protestan setuju bahwa setiap bunga yang sesuai dengan rate pasar diizinkan, dan hanya bunga yang ‘berlebihan’ kesenjangannya dengan pasarlah yang dianggap riba1. Tetapi dalam prakteknya, tanpa batasan yang disepakati berapa persenkah bunga menjadi riba, definisi tersebut sungguh sia-sia dan tak berarti.

Definisi pengikut Aristoteles hampir sama dengan pandangan Islam. Qadi Abu Bakar Ibnu al-‘Arabi mendefinisikan riba sebagai: “Setiap kelebihan yang tidak dapat dibenarkan antara nilai barang-barang yang diberikan dengan nilai barang yang didapat.” Ide umumnya adalah walaupun memiliki penilaian subjektif terhadap barang, dalam transaksi semacam itu harus ada kesamaan dalam satu nilai yang objektif. Para ahli ekonomi seperti Bentham2 menentang pandangan pengikut Aristoteles atas dasar preferensi nilai subjektif (yang terlihat sebagai nilai nyata). Dari sudut pandang pengikut Aristoteles ‘jika hanya pertukaran’ tidak masuk akal karena semua pertukaran berdasarkan definisi ini adalah tidak seimbang. Ini karena perspektif subjektif dan pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran selalu mengharapkan ‘utilitas’ yang lebih tinggi (nilai subjektif) dari barang yang diterima ketimbang barang yang dilepas. Dengan demikian, dari perspektif utilitarian, seperti halnya berkata “perdagangan sama dengan riba”. Dan Allah memperingatkan orang-orang yang berkata “perdagangan sama dengan riba” (Qur’an 2:274).

Setelah pandangan utilitarianismenya Bentham, semua bunga dalam bentuk apapun dianggap boleh. Pemikiran ekonomi yang datang setelah itu didasarkan pada 'kebolehan riba' oleh Bentham. Lebih jauh lagi, dari perspektif utilitarian ini tidak hanya bunga yang diterima tetapi ide tentang keseimbangan tidak lagi disangkut-pautkan dan karena itu diabaikan. Ini menjelaskan ketidakmampuan para ekonom untuk memahami definisi Islam mengenai Riba, yang didasarkan pada persamaan intrinsik dari transaksi semacam itu. Meninggalkan para ekonom dalam kebingungan tiada akhir ketika mencoba memahami ekuivalensi dalam Islam, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat “emas dengan emas, tangan ke tangan, semisal dengan semisal.” Kebingungan mengenai ekuivalensi ini’ adalah hal yang biasa bagi semua ahli ekonomi.

Makna Riba dalam Islam adalah lebih mendetail dan menyeluruh ketimbang Hukum Kanonikal. Ekuivalensi Aristoteles diperluas dan dicontohkan dalam Syariat. Syariat menawarkan pemahaman lengkap transaksi perdagangan dan Riba. Pemahaman yang diperluas ini menyertakan penjelasan mendetail dari makna 'kelebihan' dalam dua bentuk: perbedaan dan penundaan. Sebaliknya pemahaman Riba dalam dunia kristen hanya semata riba adalah bunga. Hukum Islam adalah lebih menyeluruh dan jelas. Misalkan, dalam transaksi tertentu yang tidak dibenarkan, dikenalkan penundaan yang dibuat-buat yang tidak dapat dibenarkan karena dipandang 'kelebihan', dan karena itu menimbulkan Riba. Bentuk riba ini telah mengecoh semua ilmuwan kristen di masa lalu. Celah yang lolos dari pemahaman kristen inilah yang berakibat riba akhirnya masuk ke dalam dunia kristen melalui instrumen perbankan dan utamanya penggunaan nota utang (yang di dalamnya ada unsur penundaan). Kami ingin menekankan pentingnya Riba an-nasiah sebagai cara mengenali bentuk riba yang signifikan yang mengecoh para ilmuwan kristen.