Murabahah, Apa yang Termasuk dan Apa yang Tidak Termasuk

Murabahah adalah kontrak penjualan yang terkenal dalam Islam yang telah disesatkan oleh Bank Syariah. Murabahah memenuhi antara 80 sampai 90 persen transaksi Bank Syariah. Kami mengatakan bahwa tanpa versi Murabahah ala Bank Syariah, Nama Syariah dalam sebuah Bank takkan mampu dipertahankan. Di bawah label Murabahah, yang merupakan sebuah penjualan, Bank Syariah melakukan pembiayaan berdasarkan praktek keharaman yang dikenal sebagai “dua penjualan dalam satu”. Praktek “dua penjualan dalam satu” ini adalah praktek tersamar yang menyembunyikan riba seolah-olah keuntungan.

Berikut ini yang dikatakan oleh Bank Syariah mengenai Murabahah?

“Murabahah: Secara Literal bermakna mark-up. Kontrak ini umumnya digunakan dalam pembiayaan perdagangan. Di bawah praktek ini, bank membeli atas namanya sendiri barang-barang yang pembeli inginkan. Bank kemudian menjual barang itu kepada pembeli untuk mendapatkan keuntungan. Pembeli lalu menyelesaikan pembayaran kepada bank dengan cara diangsur.”

Gambaran ini adalah apa yang kita sebut “dua penjualan dalam satu” dan itu haram. Imam Malik menulis dalam kitab Muwatta:

“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar Rasulullah Sallallahualayhi wasallam, melarang dua penjualan dalam satu penjualan.”

“Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa dia mendengar seorang laki-laki berkata kepada temannya, ‘Belikan aku unta ini sekarang juga supaya aku dapat membeli unta itu darimu dengan cara kredit.’ ‘Abdullah ibnu ‘Umar ditanya tentang hal itu dan dia tidak setuju serta melarangnya.”

Sebelum kita membahas persoalan ini secara terperinci, kita akan mempelajari makna asli Murabahah. Dalam Fiqih (Syariah) kontrak Murabahah adalah kontrak penjualan, yang bermakna ada penawaran dan penerimaan harga barang tertentu dalam transaksi tunggal. Perselisihan khas yang timbul dari kontrak Murabahah berhubungan dengan definisi harga dasar di atas yang dia tambahkan mark-up. Dalam sebuah kontrak Murabahah, harga dasar dikaitkan dengan harga akhir. Mark-up yang digunakan sebagai contoh dalam kitab Muwatta Imam Malik adalah 10%. Imam Malik membuat contoh berikut tentang seseorang yang menjual barang dalam Murabahah:

“jika seseorang menjual barang seharga seratus dinar dengan harga seratus sepuluh dinar”

Dalam penjualan biasa, penjual tidak wajib menyebutkan harga kulakan, tetapi dalam Murabahah Anda menyatakan harga kulakan plus mark-up nya.

“Jika seseorang menjual barang dalam Murabahah dan dia berkata, ‘Barang itu senilai seratus dinar bagiku.’

Praktek umumnya adalah penjual membeli barang di satu kota dan kemudian pergi ke kota lain untuk menjualnya dalam Murabahah, mengatakan: “Barang itu saya kulakan harga segini dan saya jual harga segitu” atau cukup dengan berkata “saya jual barang itu dengan keuntungan sepersepuluh (10 persen)”

Dalam Murabahah tradisional, barang-barang adalah milik penjual sebelum dia menawarkannya. Dalam Murabahah nya Bank Syariah, pembeli datang kepada bank dan berkata, Saya ingin beli ini dan itu. Kemudian Bank Syariah membelikannya secara Tunai dan menjualnya kepada klien seharga pembelian plus mark-up dengan syarat penundaan. Praktek ini adalah “dua penjualan dalam satu” dan itu Haram.

Persoalan kritis Murabahah yang menyita perhatian ulama kita adalah definisi harga dasar, sehingga tidak ada penyalahgunaan. Ada beberapa biaya yang disertakan dalam harga dasar dan ada yang tidak disertakan. Ketika sebuah biaya disertakan maka disebutnya penjual membuat mark-up pada biaya.

Ibnu Rushd menjelaskan perkara ini sebagai berikut:

Mayoritas Fuqaha setuju bahwa jual-beli ada dua jenis: Jual-beli Musawanah dan Jual-beli Murabahah. Disebut Murabahah ketika penjual menyebutkan harga kulakan, dan kemudian mengambil kelebihan berupa keuntungan dalam dinar atau dirham.

Ibnu Rushd menganalisa semua ketidakcocokan dalam masalah ini dalam bab al-Murabahah dalam kitab Bidayatul Mujtahid. Dia menjelaskan isu berkenaan dengan apa yang boleh dan apa yang tidak. Secara umum boleh bagi penjual dengan jalan Murabahah membeli dengan syarat penundaan dan juga menjual dengan syarat penundaan. Hanya ada satu unsur yang dipertimbangkan sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Rushd:

Malik berkata tentang orang yang menjual barang secara kredit dalam satu periode dan menjual barang itu dengan cara Murabahah, Imam Malik tidak mengizinkannya kecuali dia mengungkapkan periodenya. Imam Asy-Syafi’i berkata bahwa jika hal ini terjadi, pembeli akan memiliki periode (kredit) mirip dengan nya.

Maksudnya adalah kontrak Murabahah itu ada aturannya. Yaitu pertimbangan harga dasar atas keuntungan adalah tetap dan didefinisikan dengan jelas. Harga dasar menyertakan harga kulakan dan semua biaya yang dikeluarkan dalam transportasi, dll, sangat mirip dengan kasus agen Qirad. Penjual harus menyatakan biaya ekstra kepada pembeli, dan tidak ada salahnya mengurangi harga jika ada kesepakatan.

Murabahah bukanlah kontrak perdagangan seperti halnya Qirad. Murabahah adalah Jual-beli dan karenanya diatur oleh Hukum Jual-beli. Apa yang diharamkan dalam Jual-beli adalah haram juga dalam Murabahah, dan apa yang dibolehkan dalam jual-beli adalah dibolehkan juga dalam Murabahah. Perbedaannya dari jual-beli biasa adalah cara menyatakan harga.