Pengantar Ushul Fiqih

Imam Malik tidak merekam 'Asas-asas yang Mendasari Pengambilan Aturan Hukum Syariat' (Ushul Fiqih) dalam Madzhabnya. Tapi dalam Ushul Fiqih ini Imam Malik serupa dengan Imam Abu Hanifah yang hidup sezaman dengan Imam Malik, namun berbeda dari muridnya Imam Asy-Syafi'i, yang melakukan penyusunan Ilmu Ushul Fiqih secara jelas sistematis dan merinci asal-muasalnya serta menjadikannya sebagai dasar wajib untuk menyimpulkan 'Aturan Hukum Syariat' tentang suatu permasalahan.

Meskipun begitu Imam Malik meng-isyaratkan Kaidah Ushul Fiqihnya di dalam beberapa fatwa yang dikeluarkannya dan dalam soal-soal serta Hadist-hadist baik itu yang muttasil, munqati', atau mursal isnad juga Hadist balaghat3, walaupun beliau tidak menjelaskan kaidah Ushul Fiqihnya atau mempertahankan serta menjelaskan asal-usul yang menjadi sebab pengambilan Kaidah Ushul Fiqih yang digunakannya juga sebab kenapa Imam Malik menggunakan kaidah yang demikian.

Misalkan, dalam Kitab al-Muwatta ada Hadist-hadist mursal, munqati', dan balaghat tetapi tidak dijelaskan bagaimana Imam Malik memilih Hadist-hadist tersebut karena kitab al-Muwatta tidak membahas persoalan tentang isnad. Imam Malik sering meriwayatkan Hadist mursal dan Hadist balaghat tanpa mempersoalkannya. Ini karena perhatian terbesar Imam Malik dalam memilih Hadist adalah memilih Perawi. Yakni ketika Imam Malik yakin dengan sifat baik, kecerdasan, dan pengetahuan dari si Perawi, maka Imam Malik meniadakan perlunya mempersoalkan sanad dari Hadist yang diriwayatkannya.

Imam Malik mengambil praktik keseharian dari penduduk Madinah ('Amal Madinah) sebagai Sumber Hukum dan menjelaskan asal-usul yang menyebabkannya mengambil cara yang demikian. Kitab al-Muwatta menunjukkan bahwa Imam Malik menggunakan 'Amal Madinah dalam membuat Qiyas (analogi).

Dengan demikian dalam kitab al-Muwatta Anda akan mendapati Pernyataan Jelas atau Isyarat dari Asas-asas yang Mendasari Pengambilan Aturan Hukum atau Keputusan Hukum, sekalipun Imam Malik tidak benar-benar menjelaskan atau menetapkannya secara khusus. Misal, Imam Malik tidak menjelaskan 'Illat dalam Qiyas dan yang semacamnya.

Fuqaha Maliki telah menetapkan Aturan Hukum syariat sebagaimana para Fuqaha Hanafi telah lakukan, yakni mempelajari Aturan Sekunder dan menghasilkan Ushul Fiqih guna menghasilkan Aturan Hukum Syariat. Fuqaha Maliki menyebut Ushul Fiqih ini sebagai 'Ushul Fiqih Maliki'. Misalkan, Fuqaha Maliki me-ngatakan bahwa Imam Malik menggunakan Asas-asas Tekstual tertentu yang disebut 'Mafhum Mukhalafah' (penafsiran yang menyimpang dari makna jelas teks yang diberikan), 'Fahwa al-Khatab' (makna tersirat dari teks yang diberikan), dan 'Dzahir' (makna samar dari teks yang diberikan). Mereka berkata bahwa Imam Malik juga menyebutkan tentang teks umum yang tidak dikhususkan (general unspecific texts). Yang sebenarnya adalah: Walaupun Asas-asas ini diriwayatkan sebagai telah dirumuskan oleh Imam Malik, kenyataannya berasal dari Aturan-aturan sekunder yang diriwayatkan dari Imam Malik; dan bukti khusus bahwa Asas-asas ini berasal dari Konteks Aktual6 yang dirumuskan oleh Fuqaha yang datang setelah Imam Malik. Penarikan Kesimpulan dari Teks hanya dapat sah ketika bukti yang diperlukan ada.

Kita tidak wajib harus menerima Kaidah-kaidah ini sebagai Ilmu Ushul Fiqih Maliki karena kaidah-kaidah tersebut merupakan rumusan dari para ulama yang datang setelah Imam Malik tetapi tidak pula membantahnya, selain itu Kaidah-kaidah tersebut juga tidak diriwayatkan oleh Imam Malik sendirian. Namun kita terikat untuk menolak Kaidah-kaidah yang menurut kita berlawanan dengan Kaidah yang sudah jelas maupun Pernyataan Tegas yang sudah pasti dibuat oleh Imam Malik atau Kaidah-kaidah yang berlaku bagi beberapa Aturan Sekunder yang dibuat oleh Imam Malik walaupun tidak menyeluruh.

Kaidah-kaidah Ushul Fiqih yang digunakan oleh seorang ulama hendaknya diambil dan dihormati kecuali jika terdapat Kaidah Ushul Fiqih Maliki yang sudah jelas, yang bertentangan dengan Kaidah dari ulama tersebut. Dalam hal yang demikian kaidah ulama tersebut harus ditolak jika terbukti ber-tentangan dengan Kaidah Ushul Fiqih Maliki yang sudah jelas diterima8.

Kaidah Ilmu Ushul Fiqih Maliki tertulis di berbagai Kitab Ilmu Ushul yang ditulis oleh para pengikut Maliki serta tertulis pula pada Syarah Kitab-kitab Ushul tersebut yang dilakukan oleh pengikut Maliki lainnya. Mereka menjelaskan setiap Kaidah di mana di situ ada pendapat Imam Malik 'Begini dan Begini' tetapi Kaidah itu kenyataannya hanya disimpulkan dari Aturan Sekunder. Di dalam kitab at-Tanqih, Anda akan melihat bahwa al-Qarafi me-nyebutkan sebuah Kaidah dan kemudian menyertakan pendapat Imam Malik tentang Kaidah Ushul Fiqih itu yang bisa beda atau sama dengan Pandangan Mayoritas. Kumpulan Pendapat yang mendominasi Ushul Fiqih Madzhab Maliki itu, sekuat apapun dinyatakan penentuan sebabnya berasal dari Imam Malik, adalah tanpa diragukan menjadi Landasan tempat para pengikut Maliki berlabuh dan dari situlah Hukum Syara' madzhab Maliki berasal, baik itu para ulama dari generasi awal ataupun yang datang kemudian, dalam madzhab yang sangat produktif ini.

Kami akan menjelaskan Ilmu Ushul secara umum kemudian menuju kepada be-berapa rincian untuk memperagakan asas-asas mendasar untuk menghasilkan kesimpulan dalam Madzhab Maliki, alasan untuk mengembangkan dan me-nyebarkannya, sejumlah besar pertanyaan yang dengannya dihasilkan ke-simpulan itu dan kesesuaiannya untuk berbagai lingkungan. Kami akan ber-usaha untuk menjernihkan asas-asas yang khusus baginya dan yang di-pertimbangkan menjadi salah satu yang membedakannya dari madzhab lain dan memberinya kelenturan yang tidak ditemukan pada madzhab lain bahkan melaluinya sebuah madzhab yang didirikan di atas 'Amal yang merupakan kelebihan Madzhab Maliki dari Madzhab lain.

Dalam kitab Tartib al-Madarik Qadi 'Iyad menjelaskan landasan umum Fiqih Islam yakni:

1- al-Quran, : Teks Gamblang (Nushus jamak dari Nash), Teks Samar (Dzawahir jamak dari Dzahir) dan Makna Tersirat (Mafhumat);
2- Sunnah – Mutawatir (Periwayatan Ganda), Termasyhur (Masyhur) dan Hadist Tunggal;
3- kemudian Ijma, 4- kemudian Qiyas.

Kemudian beliau menjelaskan Asas-asas yang digunakan oleh Imam Malik beserta kedudukan dari Asas-asas tersebut. Jika Anda melihat langsung pada Metode dari para Imam ini dan Penetapan Asas-asas mereka dalam Fiqih dan Ijtihad dalam Ilmu syari'at, Anda akan menemukan bahwa Imam Malik menekuni Metodologi yang Jelas sehubungan dengan Asas-asas ini dan menempatkan mereka menurut tingkatannya secara berturut-turut. Imam Malik meletakkan Kitab Allah di urutan Pertama dan me-nyandingkan 'Amal dengan Kitab Allah, menempatkan Keduanya sebelum Qiyas dan Pendapat. Imam Malik meninggalkan Riwayat apapun yang dianggap Tidak Sah oleh orang yang masyhur ke'alimannya, atau ketika dia temukan bahwa sebagian besar penduduk Madinah melakukan sesuatu yang berbeda dan berlawanan terhadap riwayat itu. Imam Malik tidak menaruh perhatian pada orang-orang yang menafsirkan hal-hal menurut pendapat mereka sendiri10. Imam Malik secara tegas menyatakan bahwa aturan berdasarkan Pendapat semacam itu adalah Salah dan Tidak Berdasar (Tartib al-Madarik, p. 16) .

Qadi 'Iyad juga mengurutkan dasar Madzhab Imam Malik sebagai Kitab dan Sunnah, Praktik/Amalan/Kebiasaan Penduduk Madinah dan Qiyas, tetapi tidak menyebutkan yang lainnya. Qadi 'Iyad tidak menyebutkan Ijma' atau Asas-asas Metodologis lainnya yang membedakan Madzhab Maliki, seperti Masalih Mursala, Sadd adh-Dhara'i, Adat-istiadat ('Urf), dan Asas-asas Tertentu Lain yang orang lain telah sebutkan.

Dalam Syarah kitab al-Bahja Enambelas Asas-asas Mendasar diurutkan sebagai berikut:

• Makna Gamblang Teks (Nash) al-Qur'an.
• Makna Samar (Dzahir) yang berasal dari Teks yang Umum dan Tidak Khusus.
• Teks yang dijadikan Bukti (Dalil), yang mungkin memiliki Penafsiran yang Menyimpang dari Makna Jelasnya.
• Makna yang Terkandung (mafhum) dalam Teks, yang memiliki Makna Tambahan bertepatan dengan Makna Jelasnya.
• Teks yang Menjelaskan (Tanbih), yang meriwayatkan Alasan Pokok untuk Hukum Syara' (seperti pernyataan 'Itu Najis').

• Lima kategori yang sama sehubungan Sunnah;
• Konsensus (ijma').
• Analogi (qiyas).
• Amal/perilaku/kebiasaan Penduduk Madinah ('Amal Ahli'l-Madinah).
• Ucapan Sahabat (Qawl as-Sahabi)
• Memilih meninggalkan Qiyas Jali dan menggantikannya dengan Qiyas Khafi, atau Ketentuan yang Kulli kepada Ketentuan yang Ististna'i karena menurut Mujtahid itu ada Alasan yang Lebih Kuat (Istihsan)
• Melarang perbuatan yang dibolehkan karena khawatir terjerumus pada perbuatan yang dilarang (Sadd adh-Dhara'i').
• Ada ketidaksepakatan tentang Asas Ketujuhbelas yakni 'Menghormati Perbedaan Pendapat' (Muroatul Khilaf) Abu'l-Hasan berkata bahwa 'Istishab'(Menetapkan Hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya) adalah salah satu dari mereka. (al-Bahja, p. 126, vol. 2)

Daftar ini adalah Bersifat Logis. Teks yang Tegas dari al-Quran (Nash), dan Teks Samar (Dzahir), Buktinya, dan Penjelasannya adalah terhubung semuanya kepada Sumber Mendasar yang sama, Qur'an, dan Lima Unsur yang Sama juga berlaku pada Sunnah. Semua itu dijelaskan secara tersendiri karena tidak memiliki bobot yang sama ketika penarikan kesimpulan dipertimbangkan. Makna Samar (Dzahir) teks Qur'an tidaklah sekuat Makna Tegas (Nash) dan suatu Teks yang dapat memiliki Makna Menyimpang (Berlainan) tidaklah sekuat Teks Bermakna Gamblang (Jelas) dan seterusnya.

Dalam kitab at-Tabaqat, as-Subki menyatakan bahwa ada lebih dari Lima Ratus Asas-asas Mendasar dalam Madzhab Maliki. As-Subki tentu mengacu pada Qowa'id (Kaidah-kaidah) yang berasal dari Aturan Sekunder. Ada perbedaan antara Qowa'id Aturan Sekunder dengan Ushul Fiqih Maliki. Ushul fiqih Maliki adalah sumber bagi penarikan kesimpulan (deduksi), Metode Deduksi yang juga melibatkan Tingkat Kekuatan Sumber Hukum dan Pemilihan Sumber Hukum mana yang lebih didahulukan ketika Sumber-sumber Hukum itu saling berlawanan. Qowa'id Aturan Sekunder adalah Peraturan Umum yang menjelaskan Metode Pengujian Ijtihad dalam Madzhab dan Ikatan-ikatan yang menghubungkan Perkara-perkara kecil yang terkait. Qowa'id Aturan Sekunder adalah Konsep Baru dan saat ini menggantikan Aturan Sekunder karena Qowa'id Aturan Sekunder adalah Asas-asas Pemersatu yang dihasilkan dari Aturan Sekunder.

Adalah jelas bahwa Ilmu Ushul harus ada sebelum Aturan Sekunder karena Ilmu Ushul adalah Syarat Sah yang digunakan oleh Faqih dalam Penarikan Kesimpulan. Jadi Qur'an adalah lebih dahulu sebelum Sunnah, Nash Qur'an adalah Lebih Kuat daripada Dzahir Qur'an dan semua prosedur lain yang digunakan dalam membuat Ijtihad. Faktanya adalah walaupun Asas-asas ini diungkapkan oleh Aturan Sekunder namun tidak menandakan bahwa Aturan Sekunder mendahului Asas-asas. Namun lebih kepada Asas-asas ini ada lebih dulu dan Aturan Sekunder berfungsi Menandai dan Mengungkap Asas-asas sebagaimana anak-anak menandai orang tua mereka dan buah menandai pohonnya serta biji-bijian menandai jenis bijinya.

Penomoran paling tepat dari Asas-asas dalam Madzhab Maliki adalah sebagaimana yang diberikan oleh al-Qarafi dalam kitabnya Tanqih al-Ushul. Al-Qarafi menyatakan bahwa Asas-asas yang Mendasari Madzhab Maliki adalah:

1- Qur'an,
2- Sunnah,
3- Kesepakatan Penduduk Madinah,
4- Qiyas,
5- Qoul Sahabat, bersama dengan Masalih Mursala (Pertimbangan Kepentingan Umum),
6- 'Urf (Adat-istiadat)
7- 'Adat (Penggunaan Umum),
8- Sadd adh-Dhara'i (Melarang perbuatan yang dibolehkan karena khawatir terjerumus pada perbuatan yang dilarang),
9- Istishab (Menetapkan Hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumya), dan
10- Istihsan (Memilih meninggalkan Qiyas Jali dan menggantikannya dengan Qiyas Khafi, atau ketentuan yang Kulli kepada ketentuan yang Ististna'i karena menurut Mujtahid itu ada alasan yang lebih kuat)